Bab. 1

2.1K 67 0
                                    

“Ini gimana ya, Ta? Gue harus nyari kerjaan di mana lagi? Kenapa semuanya terasa buntu.” Keisha menghela napas, memijit pelipisnya yang terasa pusing, lalu mengacak rambutnya prustasi.

Buat Gita meringis prihatin melihat ke-prustasi-an sahabatnya itu.

“Gue pusing banget tiap hari mikirin hidup gue yang gini-gini aja. Udah lima bulan, Ta. Lima bulan gue jadi pengangguran.” Gadis itu menidurkan kepalanya di atas meja kafe. “Gue cape, Ta,” keluhnya.

"Sorry ya, Kei. Kemarin gue udah nanya sama atasan gue di toko, dan ternyata untuk sekarang ini belum ada lowongan." Gita, berucap pelan, tidak tega melihat sahabatnya Keisha yang kini terlihat sangat putus asa karena mencari kerja.

Keisha menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya kembali, meski susah, tapi ia tetap memaksakan untuk tersenyum lebar, "Gapapa, Ta. Lo gak perlu minta maaf. Gue ngeluh kaya gini karena gue lagi cape aja. Pengen ngeluarin semua unek-unek aja. Bukan buat lo ngerasa bersalah. Lo setia dengerin keluhan gue aja itu udah bersyukur banget. Thanks ya, Ta."

"Tapi gue belum bisa bantu banyak, Kei." Gita merasa tak enak hati.

"Hei, jangan ngomong begitu. Selama ini lo selalu ada saat gue butuh, dan itu sangat bantu gue banget."

"Terus, sekarang lo mau gimana, Kei?"
Mendengar pertanyaan seperti itu, lagi-lagi bahu Keisha melorot lemas.

"Emm ... Orang tua lo udah tahu, Kei?" tanya Gita penuh hati-hati, yang dibalas gelengan pelan oleh Keisha.

"Apa sebaiknya lo tel__"

"Gue gamau mereka tahu, Ta," ujar Keisha pelan.

"Tapi, Kei__ "

"Kalau mereka tahu, gue pasti disuruh pulang kampung. Itu adalah hal yang paling gue takutkan, Ta. Gue pulang kampung tanpa hasil apa-apa.” Tatapan gadis itu menerawang ke depan, “Lo tahu sendiri 'kan bagaimana dulu gue meyakinkan mereka agar bisa kuliah di Jakarta. Perjuangan gue meyakinkan mereka, kalau gue bisa kuliah sambil kerja itu nggak mudah."

"Dan gue emang bisa membuktikannya 'kan, Ta?" Tatapan gadis itu beralih ke arah Gita. "Gue bisa membuktikan omongan gue, bisa kuliah tanpa minta uang ke orang tua. Tapi ..." Keisha menghela napas panjang, "Gue gak bisa menebak masa depan, dan gue sama sekali gatau kalau hal seperti ini bakalan terjadi."

Gadis itu menggigit bibir bawah ...

"Gue gatau kalau perusahaan tempat gue bekerja bakalan bangkrut, dan berakhir membuat gue jadi pengangguran."

... Lalu, menunduk pelan.

"Dan sekarang gue gatau harus apa, Ta?" cicitnya pelan, "Gue bener-bener sudah putus asa sekarang. Berasa ada di jalan buntu, dan gatau harus gimana. Gue udah banyak melamar pekerjaan. Pekerjaan apapun selama itu halal, udah gue coba, tapi selalu kegagalan yang gue dapatkan." Keisha berusaha mati-matian agar air matanya tidak keluar.

"Gu-gue ngerasa cape banget, Ta. Tiap hari pikiran gue terus berperang, banyak mempertanyakan apakah keputusan yang dulu gue ambil itu adalah hal yang tepat, atau bukan. Otak gue terus-terusan bekerja mencari jalan keluar, tapi selalu kebingungan yang gue dapatkan." Dan akhirnya pertahanan gadis itu luruh juga.

"Gue bingung, Ta." Gadis itu terisak, buat Gita yang ada di sampingnya, mengusap bahunya pelan. "Apa yang harus gue lakukan agar gue bisa bertahan, dan gak berakhir pulang. Gue udah nganggur hampir lima bulan, dan hidup dari gaji terakhir yang bos gue berikan. Dan kuliah..." Keisha menghapus air matanya pelan, "Kuliah gue gimana? Apa gue harus cuti kuliah dulu ya, Ta?"

Gita hanya diam, bingung harus menjawab apa.

"Gue gak punya pilihan. Gue gak punya kerjaan sekarang, gimana gue mau bayar uang kuliah."

"Kei, tapi kalau lo mau ngomong sama orang tua lo, mereka pasti bisa bantu, deh. Yang namanya orang tua pasti gak akan membiarkan anaknya dalam kesusahan. Mereka pasti akan ngusahain cari jalan keluarnya." Gita mencoba menasihati, tapi lagi-lagi Keisha menggeleng pelan.

"Gue gak mau merepotkan mereka, Ta. Hidup yang gue jalani sekarang ini adalah pilihan gue, dan gue harus tanggung jawab. Gue harus bisa menerima konsekuensi dari pilihan yang gue ambil dulu."

Gita hanya bisa menghela napas mendengar keputusan sahabatnya barusan. Keisha emang keras kepala orangnya. Kalau sudah memutuskan A, maka harus A, tidak peduli sebanyak apapun rintangan dari pilihannya itu.
Tidak ada yang bisa mencegah, juga tidak ada yang bisa menasihati. Semakin dicegah, semakin keras gadis itu dengan keputusannya.

"Kei, sorry ya. Gue bener-bener gak bisa bantu banyak buat lo."

"Ngga, Ta. Lo jangan ngomong gitu terus, deh. Lo ada di sini aja gue udah bersyukur banget. Lo mau nampung gue di kosan lo, itu udah lebih dari cukup bantu gue banget. Kalau nggak ada lo, Ta. Gue gatau nasib gue gimana, hidup di kota orang, tanpa punya uang, mungkin gue udah jadi gelandang.  Harusnya di sini gue yang minta maaf karena banyak nge-repotin lo. Banyak ngeluarin keluh kesah di depan lo padahal gue tahu lo pasti cape habis pulang kerja."

"Nggak Kei, gue gak ngerasa direpotin. Lo sahabat gue, dan gue pasti bakalan bantu lo semampunya," ujar Gita, buat Keisha tersenyum lebar.

"Thank you, Ta. Gue bersyukur banget bisa punya sahabat kaya lo."


~Bersambung.

Cerita baru lagi😊
Gimana dengan bab pertamanya? Semoga suka, ya. Maaf kalau masih banyak kekurangan 😁

Jangan lupa vote dan komen.
Kalau banyak yang suka, aku akan rajin update 😘🥰

From Work To LoveWhere stories live. Discover now