100. Alvin Kritis

355 35 0
                                    

Rio pergi ke alun-alun bersama Anton dan teman basketnya yang lain. Sekedar acara perpisahan karena sudah tidak akan bisa intens bertemu di sekolah maupun di tempat latihan. Mereka akhirnya akan menjalani kehidupan masing-masing dan tidak lagi memprioritaskan satu sama lain.

Rio membuka sebungkus rokok yang disediakan di angkringan tempatnya nongkrong. Anton menatapnya diam. Dia tahu Rio bisa merokok, dia pernah melihat Rio merokok. Toh kebanyakan laki-laki memang pernah mencicip rasa tembakau. Tetapi, melihat wajah frustrasi Rio dia merasa harus mengawasinya, takut lelaki itu menghabiskan semua isi di kotak rokok tersebut.

Mereka mengobrol banyak hal, apalagi membahas universitas mana yang nantinya akan dimasuki. Namun, Rio hanya diam mengisap lintingan tembakau dan memejamkan matanya sesekali. Saat tangannya hendak mengambil lintingan kelima, Anton menghentikannya.

Rio menatap Anton tajam, seolah tidak ingin diganggu. Anton tidak akan membiarkan Rio mendapatkan rokoknya. Dia malah mengopernya pada Abdul yang duduk di seberang. Semua menatap Rio mengkhawatirkan sang kapten yang tampak memiliki masalah.

"Cerita aja, Yo. Kasihan paru-parumu butuh udara segar," ujar Anton membuat Rio hanya mengembuskan napasnya jengah.

Dia tidak akan percaya pada siapapun. Bahkan orang yang ia anggap sahabat terdekat malah mengkhianatinya. Orang yang ia anggap adiknya sendiri  malah merebut apa yang sudah ia cap sebagai kesukaannya. Orang itu yang membuatnya tidak mau membuka mulut pada siapapun lagi.

Dia pikir, dengan bersikap baik ia akan mendapat kehidupan yang baik juga. Nyatanya tidak. Semua tidak berjalan sesuai keinginannya. Hal itu membuatnya frustrasi dan sakit hati.

"Cabut dulu!" pamit Rio membuat teman-temannya makin khawatir. Apalagi Anton. Orang tua Rio memiliki nomor ponselnya, bisa bahaya kalau sesuatu buruk terjadi pada Rio. Jelas dia yang akan oertama kali dihubungi orang tua Rio.

"Mau kemana, Yo?" tanya Anton memastikan. Rio memakai jaket denimnya dan melepas topi petnya.

"Ke rumah temen," jawab Rio asal. Siapa juga yang akan ia kunjungi. Teman-teman yang ia miliki sekarang hanya anak basket dan semua sudah berkumpul di alun-alun.

"Beneran? Jangan macam-macam, Yo," pesan Anton dan diangguki Rio. Dia memakai helmnya dan menyimpan topinya di gantungan motor. Lantas mengklakson singkat tamannya kemudian pergi.

Dia melajukan motornya tanpa arah. Entah akan kemana, Rio tidak tahu. Pikirannya kalut karena pertemuan singkatnya dengan Alvin. Setelah hampir satu tahun tidak pernah mengobrol, akhirnya dia mengobrol dengan temannya itu. Meski singkat namun, begitu besar efeknya kepada seorang Rio.

Ponsel di saku jaketnya terus bergetar menandakan seseorang terus menghubunginya. Rio enggan peduli. Dia tahu itu salah seorang keluarganya. Dia sudah lama memblokir nomor kedua temannya, sedangkan Alvin sudah tidak pernah memakai ponselnya.

Sampai kemudian Rio memelankan laju motornya lantas menyingkir dari jalanan. Dia berhenti di pinggir jalan untuk memeriksa apa yang terjadi sampai dia ditelepon sebanyak itu. Melihat nama bundanya membuat Rio membuang napasnya.

Lantas pesan masuk dari sang kakak membuatnya terpaku. Pikiran kalutnya lenyap seketika terganti diri tanpa pikiran. Dia syok membaca pesan dari kakaknya sampai dengan ceroboh menjatuhnya motornya. Dia juga jatuh karena kaki kirinya tertindih motor.

Beberapa pejalan kaki menatapnya keheranan. Rio segera membenarkan motornya dan menelepon kakaknya. Dia menunggu sampai panggilannya diterima oleh sang kakak.

"Halo," sapa Rio dan menjalankan motornya. Dia menyelipkan ponselnya di helm.

["Kamu dimana? Alvin kritis, bunda sama kakak lagi ke rumah sakit."]

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang