9. Makan Siang

277 22 0
                                    

Guru pertama masuk dengan senyumannya yang cerah, secerah pagi ini. Tapi, Rio bertahan dengan wajah kusutnya. Arghi sampai merinding melihat Rio yang tengah merajuk tanpa sebab yang jelas. Apa mungkin karena dia sempat memukulnya di jalan? Tapi, itu juga demi kebaikan mereka agar tidak melanggar lalu lintas dan menerobos lampu merah. Huft, berpikir membuat perutnya lapar.

Di hari pertama guru tersebut hanya membuka sesi perkenalan diri dan menyampaikan point-point materi fisika yang akan ia ajarkan. Dia guru laki-laki yang ramah meskipun jarang berbicara tapi selalu menunjukkan wajah ramah. Membuat siapapun yang melihatnya tidak menyangka di adalah guru fisika.

"Tadi namanya siapa, Yo?" tanya Alvin begitu guru tersebut keluar kelas. Jam mengajarnya sebenarnya dua jam, tapi karena ini hari pertama dia keluar setelah satu jam di kelas. Memberi waktu mereka santai dengan pesan tidak ada yang keluar kelas dan berisik. Dia memberi waktu untuk siswanya membuat struktur organisasi agar di tempel di kelas.

"Pak Yadi," jawab Rio. Arghi menoleh mendengar suara Rio. Sepertinya moodnya sudah baikan. Alvin mengangguk dan mulai menulis nama guru tersebut di bukunya. Dia paling sulit mengingat nama orang. Daripada sampai akhir dia tidak tahu nama guru tersebut, lebih baik ia tulis.

"Buat apa ditulis, Vin?" tanya Rio melihat Alvin menuliskan nama sang guru di buku tulisnya.

"Takut lupa," ujar Alvin dan terkekeh mendengar ejekan Rio kepadanya. Rio mengejeknya sudah tua makanya pelupa. Tidak bisa dipungkiri Alvin memang sangat pelupa bahkan akhir-akhir ini dia sering menyebut nama random sebagai namanya. Penyakit lupa yang meresahkan.

Alvin diam-diam senang Rio sudah kembali baik. Benar kan prinsipnya untuk membuat Rio diam dan tenang tanpa perlu bertanya banyak hal saat moodnya buruk. Dia pernah melakukan kesalahan seperti Arghi saat dia belum terlalu mengenal Rio. Saat itu Rio benar-benar diam dan saat dia bertanya apa salahnya Rio malah semakin marah lantas mendorongnya dan memperingatinya dengan suara keras agar tidak muncul di depan Rio.

Alvin menangis tentu saja. Temannya yang paling dekat hanya Rio, selain itu Alvin tidak memiliki teman bermain. Tidak ada yang tahan dengan sifat Alvin yang begitu pendiam. Padahal saat Alvin sudah nyaman dia bukanlah sosok yang pendiam dan pasif. Mereka saja yang salah paham.

Sampai sehari setelahnya Rio kembali baik seolah kemarin tidak terjadi permasalahan. Alvin tidak berani bertanya apakah Rio sudah memaafkannya atau belum. Dia tidak mau Rio kembali marah dan mendiamkannya.

Sejak hari itu Alvin mulai tahu Rio marah pada hal-hal yang tidak ia sukai, tapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Rio orang baik yang tidak bisa menekan orang lain agar menjadi yang ia suka. Dia memendam kekesalannya sendiri dan kemudian melupakan dengan sendirinya. Karakter yang unik bagi Alvin.

Bel istirahat berbunyi. Semua bersemangat pergi ke kantin di hari pertama mereka sekolah. Ingin merasakan makanan anak SMA. Apalagi kemarin mereka tidak sempat menginjakkan kaki ke kantin sekolah.

Siang ini saat jam istirahat seluruh kursi menjadi penuh sesak oleh siswa yang kelaparan. Mereka putar otak mencari cara agar bisa duduk dengan tenang. Salah satu caranya adalah membawa teman ke kantin. Dengan mengajak teman satu orang bisa mengamankan tempat duduk dan lainnya pergi memesan. Sama-sama diuntungkan.

Begitu pula dengan Rio, Alvin, dan Arghi yang datang bersama ke kantin. Rio bertugas mengamankan meja berkursi empat orang. Dia menduduki empat kursi sekaligus mencegah adanya tangan jahil yang membawa kursi pergi. Cara licik ini nyatanya banyak yang menggunakannya. Membuat suasana kantin ramai oleh protesan beberapa siswa yang kurang andal.

"Boleh duduk di sini?"

Kali ini Rio mendongak menatap siapa yang meminta duduk di bangkunya. Melihat Jofan yang datang membawa semangkuk bakso dan es tes membuatnya menggeleng. Jofan pasrah dan mencari tempat duduk lain agar bisa menyantap makanannya dengan posisi duduk.

"Lho Jofan! Sini duduk!"

Alvin datang membawa sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang menutup seluruh nasi serta satu mangkuk mie ayam. Rio mendongak lagi, kali ini menyimpan ponselnya dan berdiri membagi kursinya pada Alvin. Jofan datang kembali menatap ragu pada Rio yang tampak menata kursi tanpa peduli pada kehadirannya. Sampai kemudian Arghi datang membawa semangkuk bakso dan tiga gelas es teh. Meletakkan mangkuknya dan menata gelas milik kedua temannya.

"Boleh gabung, nih?" tanya Jofan mencari kejelasan. Mie di baksonya sudah mengembang terlalu lama dia berkeliling mencari tempat duduk. Alvin mengangguk dan meletakkan nasi goreng di depan Rio.

"Iya nggak apa-apa santai aja. Bener kan?" tanya Alvin meminta pendapat pada Rio yang masih tampak tidak peduli dengan mengeluarkan ponselnya kembali. Arghi bergumam tidak jelas sebagai jawaban dan duduk di sebelah Alvin. Menyesap es teh yang begitu menyegarkan kerongkongannya. Alvin merunduk demi melihat wajah Rio lebih jelas.

"Hm," gumam Rio dan membuat Alvin mengisyaratkan pada Jofan untuk duduk di sebelahnya.

"Baksonya enak, Jo?" tanya Alvin di sela makannya. Dia merasa suasana canggung tercipta begitu Jofan duduk.

"Iya enak, ini coba aja!" tawar Jofan senang. Alvin yang sebelumnya tidak tertarik menjadi penasaran dengan rasa bakso. Dengan senang hati dia menyendok satu buah bakso dan melahapnya. Merasakan tekstur kenyal daging sapi dan kuah yang kaya akan rasa.

"Iya enak, kamu nggak mau nyicip punyaku?" tanya Alvin menawarkan mie ayam miliknya. Jofan menggulung mie ayam Alvin dan melahapnya. Tersenyum senang bisa makan menu lain tanpa bayar.

"Enak, lebih enak ditambah sambal," ujar Jofan menyarankan. Rasa mie ayam enak, hanya saja kalau tanpa bumbu tambahan seperti sambal atau saus terasa kurang. 

"Nggak bisa makan sambal. Emangnya lebih enak ya?" tanya Alvin penasaran.

"Iya, rasanya jauh lebih enak kalau ditambah sambal," jelas Jofan. Rio menghentikan aktivitasnya melihat Alvin mengambil sambal dan hendak menambahkannya pada mie ayamnya.

"Nanti sakit perut," peringatan dari Rio tidak digubris Alvin.

"Cuma dikit," ujarnya membela diri. Keras kepala.

Rio tidak peduli lebih memilih lanjut makan. Di sebelahnya Arghi hanya menonton sembari mengunyah bakso terakhir di mulutnya. Dia jadi ingin mie ayam melihat Alvin menyantap setelah menambahkan sesendok sambal.

"Yo, masih lama kan?" tanyanya melihat makanan Alvin masih banyak dan milik Rio belum habis seluruhnya. Rio menatap heran pada Arghi yang berdiri bersiap pergi membawa mangkuk.

"Kenapa?"

"Mau pesen mie ayam. Cuma bentar kok, tungguin ya," ujar Arghi dan ngacir ke warung mie ayam. Dia memesan dengan tidak sabaran sembari mengecek keberadaan temannya. Cemas kalau-kalau ditinggal.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang