24. Menjadi Sahabat (1)

247 22 0
                                    

Jofan kembali mengenakan hodienya. Sedangkan Rio di depannya menyandarkan punggungnya di kursi menatap tidak percaya pada Jofan. Sampai Jofan selesai mengenakan hodie Rio masih menatapnya syok, hal itu membuat Jofan tersenyum. Seaneh itukah dirinya di depan Rio?

"Kenapa disayat?" tanya Rio sungguh tidak mengerti alasan Jofan menyayat dirinya sendiri. Bukankah itu sangat mengerikan? Menyayat tangan sampai luka tersebut bertumpuk dengan luka yang baru kering.

"Karena nggak ada yang bisa aku lakukan," jawab Jofan. Dia sangat tenang seolah apa yang ia lakukan bukanlah hal yang patut dicemaskan. Rio mengembuskan napasnya gusar. Wajahnya masih menunjukkan betapa terkejutnya dia melihat luka yang begitu banyak, terlebih itu dilakukan oleh si empu sendiri.

"Kamu ada masalah?" tanya Rio mencoba menenangkan dirinya sendiri. 

"Semua punya masalah kali, Yo," jawab Jofan jenaka. Tapi, bagi Rio itu tidak lucu. Memang semua memiliki masalah hanya saja mental seseorang dalam mnghadapi permasalahan sungguh berbeda. Dia selalu mengingat masalah yang mengganjal hatinya sampai lupa dengan sendirinya dan itu butuh waktu yang cukup lama. Alvin juga seorang yang akan menyimpan masalahnya namun segera melupakannya. Lebih cepat memaafkan dan mengikhlaskan.

"Jangan becanda, ini serius Jo. Kalo keterusan kamu bisa mati," tegas Rio dengan wajahnya yang kesal.

"Iya udah aku konsultasikan, cuma yang namanya kebiasaan nggak akan mungkin bisa cepet berubah," jawab Jofan. Dia bukan orang bodoh yang tidak tahu resiko dari menyayat tangannya. Dia hanya selalu gelap mata saat menghadapi masalah dan melampiaskannya pada tubuhnya, "itu susah. Lebih susah dari yang aku pikirin," lanjut Jofan.

Rio memerhatikan temannya yang sudah tak lagi mengulas senyumnya. Tampak menunduk meremat jemari tangannya sendiri. Wajahnya gusar tampak tidak nyaman dan semakin kencang meremat jemari tangannya. Tubuhnya bergetar tampak cemas. Rio menyentuh tangan Jofan mencoba menenangkannya.

"Bukankah semua punya kelemahan?" tanya Jofan masih sibuk meremat jemari tangannya. Rio tidak menjawab, dia khawatir. Belum pernah dia bertemu seseorang yang seperti Jofan. Jofan mendongak, memperlihatkan wajahnya yang sudah banjir air mata. Seperti melakukan konsultasi dengan psikiaternya, dia akan menangis karena tidak mampu menahan gejolak di dadanya. Dia selalu hilang akal sehatnya saat harus membahas dirinya sendiri.

"Udah Jo nggak usah dibahas kalau emang kamu ngerasa nggak nyaman," ujar Rio akhirnya mencoba menghentikan Jofan. Dia tidak bisa memaksa orang lain bercerita begitu saja. Tetapi, bagi Jofan ini adalah kesempatannya untuk membuka diri kepada Rio. Dia sudah sangat mempercayai lelaki itu. Remaja yang sejak awal sudah tampak peduli pada orang lain, entah pada Alvin atau bahkan pada Arghi. Diam-diam Rio selalu memperlihatkan sikap dewasanya membuat teman-temannya merasa nyaman dan tenang  berteman dengannya, termasuk Jofan.

"Kamu orang pertama yang akan denger cerita aku. Jangan kasih tahu lainnya, karena aku cuma percaya kamu," ujar Jofan membuat Rio mengangguk dan bersiap mendengarkan apa yang akan Jofan katakan.

"Sejak kecil aku udah jadi manusia yang lambat dalam belajar. Aku baru bisa bicara saat usia lima tahun dan aku bukan orang Indonesia, itu sebabnya beberapa kali aku kesulitan berbicara. Saat lulus sekolah dasar aku dipindahkan ke Indonesia karena kedua orang tuaku bercerai. Mereka berpisah dan menitipkanku pada paman. Sampai sekarang aku tinggal bersama paman," ceritanya. Dia meneguk ludahnya sebentar, "aku pikir, aku bisa menjalani kehidupan baru di tempat yang baru. Nyatanya aku nggak bisa. Ekspetasiku tentang dunia baru dan lembaran baru itu nggak pernah ada di dunia ini. Mereka yang satu SMP denganku selalu mencemooh karena ucapanku yang belum lancar."

Jofan menunduk merasa matanya memanas dan pelupuk matanya mulai tergenang air mata yang siap meluncur membentuk anak sungai. Dia terkekeh, menertawai dirinya sendiri yang begitu lemah bahkan mudah menangis akan hal-hal yang kecil. Rio menatapnya tidak berani mengintrupsi dan dengan sabar menunggunya.

QuerenciaWhere stories live. Discover now