74. Alvin dan Mimisannya

337 25 1
                                    

Tanpa terasa, semester telah berganti. Seluruh siswa kembali memadati jalan raya dan menaiki angkot. Jalanan sudah ramai oleh para pekerja dan siswa sekolah. Hal tersebut membawa dampak kemacetan luar biasa. Untungnya para polisi sigap turun ke jalan dan mengurai kemacetan. Ketangkasan para polisi membuat Rio tidak terlambat ikut upacara. Semalam dia medapat info kalau angkatannya tidak akan diubah kelasnya. Karena itu dia dengan santainya begadang merasa senang, tidak memikirkan akan satu kelas dengan siapa dan tidak perlu repot mencari kelasnya di pagi hari. Akibatnya dia berangkat kesiangan dan baru ingat kalau emskipun kelasnya sama dia harus tetap berangkat pagi karena akan ada upacara. Jadi, dengan panik dia mengebut di jalanan.

"Pasti bangun kesiangan!" tebak Alvin melihat teman sebangkunya itu baru saja sampai di kelas. Rio duduk di kursinya dan mengambil topi osisnya. Hanya menampilkan senyum pepsodentnya menanggapi tebakan Alvin. Memang benar dia bangun kesiangan. Tidak ada alasan lain.

Baru lima menit duduk, upacara sudah akan dilaksanakan. Rio berjalan bersama ketiga temannya pergi ke lapangan untuk melaksanakan upacara pertama mereka setelah satu bulan libur. Lapangan sangat ramai oleh kehadiran para siswa. Seperti saat upacara pertama mereka di SMA. Bedanya mereka yang dulunya siswa baru, sekarnag menjadi siswa kelas 11. Semuanya sibuk berbicara satu sama lain. Menceritakan pengalaman liburan kepada kawan mereka.

Gilang juga pamer kalau dia mendaki gunung saat liburan. Memamerkan pengalaman berharganya kepada Rio yang berdiri di sebelahnya. Rio menanggapinya dengan decak kagum. Dia juga belum pernah naik gunung dan ingin memiliki pengalaman naik gunung, setidaknya sekali saja.

"Alah liburan kok sendiri, kayak kita dong beramai-ramai!" pamer Arghi. Dia berbalik badan untuk menghadap pada Gilang di belakangnya. Sudah siap memamerkan semua cerita liburannya bersama tiga orang sahabatnya.

"Kalian pergi bareng-bareng?" tanya Gilang penuh selidik. Dengan kompak diangguki oleh keempat remaja sebayanya.

"Iya lah, itu baru namanya liburan. Nggak usah tuker cerita, kita ceritanya udah sama persis," bangga Arghi membuat Gilang memutar bola matanya. Arghi ini memang suka menjahili orang lain. Bahkan dia juga sering menjadi korban kejahilan Arghi. Seperti sekarang, dia terus mendapat ejekan dari Arghi karena pergi tidak bersama temannya. Rasanya sedikit menyesal semalam telah bersorak senang karena kelasnya tidak diubah. Harusnya dia sedih karena akan menjadi ketua untuk kedua kalinya dan yang menjadi anggota orang macam Arghi. Manusia nakal yang suka menguji kesabarannya.

"Jalan-jalan kok sama teman, nggak punya keluarga ya?" tanggap Gilang dengan sewot.

"Lho emang iya! Orang tuaku udah di tanam," jawab Alvin dan diangguki ketiga orang lainnya. Membuat Gilang tidak bisa berkata-kata lagi. Dia sampai tepok jidat mendengar itu. Sungguh sulit sekali membalas mereka. Selalu saja ada jawaban tak terduga yang membuatnya kalah dalam pertarungan tak kasat mata.

"Jangan jahat gitu lah, Lang. Kan kasihan Nana," ujar Arghi mendramatisir. Rio dan Jofan juga ikut-ikutan berdrama dengan mengelus Alvin seolah tengah menenangkannya. Alvin sendiri sudah berpura-pura sedih.

"Dahlah capek banget sama kalian," keluh Gilang dan disambut gelak tawa keempat remaja tersebut. Gilang bahkan bersiap pindah barisan kalau saja Rio tidak menahannya, meski tetap dengan gelak tawa yang mengejeknya. Pertemanan mereka sangat mengerikan. Sekompak itu untuk bisa menjahilinya. Dia harus bersabar kembali untuk satu tahun kedepan

"Dasar sinting!" omel Gilang. Tapi hal tersebut justru membuat gelak tawa semakin membahana tak bisa dikendalikan. Arghi sampai mengusap air matanya yang menetes. Pagi yang menyenangkan.

"Lho Vin kamu mimisan!" tunjuk Gilang saat menyadari hidung Alvin mengeluarkan darah. Gelak tawa itu lenyap seketika, berganti wajah panik melihat Alvin mimisan kembali. Selama liburan Alvin juga beberapa kali terlihat mimisan, tapi remaja bertubuh kurus itu keras kepala tidak mau diperiksakan keadaannya.

Rio meminta tissue dari siswi di kelasnya. Memberikannya pada Alvin untuk mengusap bercak darah di area filtrum. Melihat darah tak kunjung berhenti, akhirnya Rio membawa Alvin pergi ke kamar mandi.

"Kita izin ke kamar mandi ya, mungkin nanti juga ke uks. Wajah Nana pucet banget!" pamit Rio sebelum menuntun Alvin pergi ke toilet. Langkah Alvin bahkan sempoyongan seperti orang yang setengah mabuk. Membuat Rio memapahnya dengan perlahan.

"Kenapa tuh, Yo?" tanya seorang siswa PMR yang baru akan bertugas.

"Mimisan," jawab Rio sembari menopang Alvin di depan wastafel kamar mandi. Dia melirik siswa seangkatan dengannya tersebut, "eh tolong dong buatin teh anget," pintanya. Suhu tubuh Alvin sangat tinggi, juga pandangan Alvin tampak tidak fokus. Membuatnya tahu kalau remaja itu tidak sedang dalam kondisi sehat.

"Ok," jawabnya dan ngacir keluar kamar mandi untuk segera menyiapkan permintaan Rio.

Alvin yang awalnya tengah membersihkan mimisannya berubah menjadi mual-mual. Rio memijat tengkuk leher Alvin membuat remaja itu makin muntah. Kakinya terlihat sangat lemah seketika karena tubuhnya memaksa mengeluarkan apa yang sudah ada di dalam tubuh.

"Udah?" tanya Rio memastikan. Alvin mengangguk tanda dia sudah selesai dengan muntahannya. Mereka berjalan pergi ke uks. Mengabaikan peserta upacara yang mulai mempersiapkan diri di lapangan.

Sampai di uks, Alvin langsung berbaring di ranjangnya. Dia bahkan tidak mau ditinggal Rio karena jelas di ruang uks tidak ada yang ia kenal. Rasanya akan sangat canggung dan dia tidak suka itu. Jadi, Rio duduk di depan pintu ruang uks, membiarkan Alvin istirahat di dalam sedirian.

"Ini Yo tehnya," siswa pmr itu memberikan segelas teh hangat kepada Rio. Membuat Rio kembali masuk untuk meminta Alvin meminumnya segera. Dengan teh hangat semua penyakit bisa langsung sembuh. Entah bagaimana teori tentang teh, Rio tidak tahu. Yang pasti Rio sudah sering menemukan kasus orang yang langsung sembuh setelah minum teh hangat.

"Minum dulu, Na!" ujar Rio menyodorkan segelas teh kepada Alvin. Alvin duduk dan meneguk sekali lantas kembali menyerahkannya pada Rio. Rio mendorongnya kembali agar dihabiskan oleh Alvin, "habisin!" perintahnya mutlak. Tentu saja Alvin menurutinya meski dalam hati sudah ngedumel. Dia suka teh, tapi dengan es. Bukan teh hangat seperti ini.

"Istiratah, biar cepet sembuh."

Setelah mengatakan itu, Rio kembali duduk di luar ruang uks. Mengobrol bersama Izul yang memberikannya teh hangat. Entah bagaimana ceritanya Izul kenal dengannya, sementara dia sama sekali tidak mengenalnya. Keduanya mengobrol dengan santai sembari melihat lapangan yang menjadi tempat upacara.

"Emang sering mimisan ya temenmu itu?" tanya Izul mendadak penasaran. Rio mengangguk dan menceritakan kali pertama dia melihat Alvin mimisan di sekolah, hingga saat ini. Kalau dihitung bisa sampai 10 kali Rio melihat Alvin mimisan.

"Terus udah diperiksakan ke dokter?" tanya Izul menanggapi cerita Rio.

"Belum kayaknya, nggak tahu juga. Emang bahaya ya?" tanggap Rio ikut penasaran. Kalau memang itu bahaya dia akan membawa Alvin ke rumah sakit.

"Ya kalau mimisan satu-dua kali sih masih wajar, kalau sampai sebanyak itu mending diperiksakan aja. Takutnya ada apa-apa," jelas Izul. Rio mengangguk dan akan mencoba membujuk Alvin ke rumah sakit.

Mereka terdiam sampai tidak sadar upacara bendera selesai dilaksanakan. Arghi dan Jofan menghampiri Rio yang duduk di depan uks. Ingin menanyakan tentang keadaan Alvin, tapi urung saat melihat Alvin keluar dari uks. Langkahnya tampak masih lunglai tapi dia memaksa untuk kembali ke kelas saja.

"Udah baikan?" tanya Rio memastikan sekali lagi. Bahkan sampai di dalam kelas Rio terus saja bertanya hal yang sama membuat Alvin mendengus sebal.

"Cerewet!" keluh Alvin dan langsung disambut gelak tawa oleh Arghi dan Jofan. Rio berdecak dan berhenti bertanya. Kekhawatirannya ini malah dianggap cerewet oleh Alvin, keterlaluan.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
QuerenciaWhere stories live. Discover now