63. rumah rio

170 16 0
                                    

Hari terakhir di bumi perkemahan tampak sangat cerah. Kemungkinan karena suasana hati para peserta dan panitia yang baik dan tidak lagi canggung. Sudah tidak ada lagi wajah galak yang membuat para peserta menciut dan merasa tertekan. Membuat suasana sungguh sangat menyenangkan. Beberapa siswa saking semangatnya sampai selesai packing tadi malam, jadi pagi ini hanya perlu bersiap mengikuti upacara penutupan. Kebanyanya sangga putra melakukan packing pagi ini. Rusuh dan tidak terorganisir.

Pukul delapan pagi seluruh peserta diminta untuk membongkar tenda mereka. Beberapa anggota ditugaskan untuk membersihkan area di sekitar lapangan. Semua bekerja sama seperti saat pertama kali datang ke perkemahan. Suasana seperti ini yang nantinya paling diingat bahkan akan diceritakan ke angkatan selanjutnya.

Upacara penutup dilakukan pukul 10 pagi. Mereka lantas pulang dengan diantar truk seperti tiga hari yang lalu. Bedanya, ruang di dalam truk terasa lebih longgar. Ya meskipun tercium bau keringat sebagai gantinya. Baunya ada di mana-mana karena para laki-laki tidak mandi sama sekali. Ditambah aroma sepatu dan kaus kaki yang kian menambah sensasi mual di perut. Pencemaran udara.

Sesampainya di sekolah mereka bisa segera menghampiri dewan pendamping masing-masing untuk menghubungi keluarga mereka. Rio juga melakukan hal yang sama. Sementara Arghi dan Alvin tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menjemput mereka. Hanya tengak-tengok di dekat truk. Rio menghampiri keduanya.

"Nanti pulang bareng aku aja, Na. Sekalian nginep aja, kan senin libur," ujar Rio menawarkan tumpangan. Alvin yang kebingungan akhirnya setuju dengan tawaran tersebut. Arghi juga ikut nebeng.

"Jojo udah ada yang jemput?" tanya Arghi melihat Jofan masih sibuk pergi kesana-kemari entah mencari apa.

"Huh? Belum, ini masih nyoba nyari nomor ponsel om ku. Padahal udah aku kirim kemarin kok sekarang hilang," keluhnya. Dia sudah menitipkan nomor omnya pada sang dewan tapi rupanya nomor tersebut hilang dari kontak. Sepertinya lupa tersimpan atau bahkan terhapus secara tak sengaja. Sial sekali.

"Kamu pulang bareng aku aja, nanti aku antar pulang," ujar Rio. Jofan tampak berpikir sejenak lantas akhirnya mengangguk. Tidak ada ide lain selain menerima tawaran dari Rio. Dia juga ingin berkunjung ke rumah Rio. Penasaran dengan keluarga Rio yang menurut Arghi begitu ramah dan asik.

Mereka duduk bersama untuk menunggu jemputan di depan gedung sekolah. Hal tersebut dilakukan agar memudahkan orang tua Rio menemukan mereka. Rupanya yang menjemput adalah kak Devina. Kakak perempuannya itu masih dalam fase belajar mengemudi mobil. Rio sempat tidak percaya kalau bundanya mengizinkan kakaknya pergi menjemputnya.

"Serius bisa?" tanya Rio masih ragu-ragu. Dia duduk di depan, sementara ketiga temannya di belakang. Barang-barang mereka diletakkan di bagasi karena kotor.

"Jangan bawel!" kesal Devina yang masih kesulitan memutar balik mobilnya. Gerakannya sedikit kikuk karena tidak tahu Rio akan membawa ketiga temannya masuk ke dalam mobil. Dia kira hanya akan menjemput Rio seorang. Rupanya tiga orang lainnya juga ikut masuk mobil untuk nebeng.

"Aku aja!" sergah Rio merasa dongkol karena tidak juga melihat mobil ini bergerak memutar balik. Hanya maju-mundur tidak jelas membuat jalanan sedikit tersendat. Klakson di luar sana membuat Rio makin merasa tidak enak dan gemas dengan kakaknya sendiri.

"Bawel dasar!" kesal Devina tapi kemudian turun untuk berganti kursi dengan sang adik. Rio mengemudi bahkan sampai rumah karena tidak mempercayai kakaknya. Hal ini membuat ketiga penumpang di belakang menatap tidak percaya kalau Rio sudah bisa mengemudikan mobil. Bahkan jauh lebih hebat dari sang kakak. Awalnya memang berjalan santai, tapi lama-lama Rio mengebut juga.

"Jangan ngebut, Yo. Umur nggak ada yang tahu," ujar Arghi membuat Jofan dan Alvin serempak melotot pada Arghi. Mereka sama-sama merasa takut ditambah ucapan Arghi yang sungguh negatif. Rio mana peduli, dia tetap mengebut sampai memasuki pekarangan rumah. Devina bersungut-sungut karena diremehkan oleh Rio bahkan di depan tiga remaja itu.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang