85. Ujian Kenaikan Kelas

185 12 0
                                    

Suasana ujian sudah terasa begitu kental di sekolah. Rio seperti biasa baru datang saat bel masuk mulai berbunyi. Dia bahkan berjalan di belakang seorang guru lantas masuk tanpa ba-bi-bu. Alvin yang melihatnya berdecak. Mereka ada di kelas yang berbeda. Alvin di ruang ujian empat sementara dia ada di ruang ujian tiga bersama kedua sahabatnya.

Ah, nilai ujiannya pasti jelek karena yang ia pelajari semalam sungguh berbeda dengan yang sekarang diujikan. Entah apa salah Alvin sampai-sampai mendapat cobaan hidup yang sama sulitnya dengan ujian di sekolahnya. Ini menjadi alasan untuknya malas belajar, karena terkadang yang sudah dipersiapkan dengan matang malah sama sekali tak ada gunanya.

Begitu keluar dari ruang kelas, wajah kusut Alvin ditunjukan melihat Rio sudah duduk dengan tenang sembari meminum susu kotak. Santai sekali siswa satu itu menghadapi ulangan. Tidakkah soal tadi begitu menguras emosi? Apakah Rio tidak merasakan luapan amarah yang berasal dari rasa pusing akibat soal?

"Kenapa wajahmu gitu?" tanya Rio melihat wajah cemberut Alvin. Alvin berjalan mendekat dan duduk di sebelah Rio. Koridor sekolah masih sepi, banyak yang masih bertahan di dalam ruang kelas. Sementara Alvin sudah muak dengan semua soal tersebut sedangkan Rio memang sudah tidak ada hal lain yang ia khawatirkan di dalam kelas.

"Soalnya susah," keluh Alvin membuat Rio terkekeh mendengar keluhan tersebut. Bagaimana tidak susah, Alvin saja tidak pernah mau belajar dengan giat. Alvin menirunya seolah memiliki kapasitas otak yang sama dengannya.

"Berapa hari kamu belajar buat ujian ini?" tanya Rio membuat Alvin mengacungkan ketiga jarinya. Rio menepuk lengan Alvin agar menurunkan tangannya, "cuma tiga hari kok udah bilang susah. Makanya belajar sejak awal, biar nggak kesulitan," ujar Rio menasihati. Alvin mana peduli. Dia tengah meratapi nasibnya sendiri.

"Kamu sendiri belajar berapa hari? Aku lihat kemarin kamu masih bolak-balik ke sekolah nyiapin tim basket," ujar Alvin tidak terima mendapat nasihat itu. Baginya belajar tiga hari saja sudah menyiksa, apalagi belajar sepanjang waktu.

"Tadi malam aku belajar," jawab Rio singkat. Alvin melototinya sekarang membuat Rio mengangkat bahu, "otak aku bekerja dengan baik tanpa perlu disogok pelajaran, sedangkan kamu? Otakmu itu sudah mampet harus banyak-banyak belajar biar bisa jalan," jelas Rio. Kali ini Alvin memukul lengan Rio kesal. Enak sekali mengatainya seperti itu. Benar-benar tidak ada akhlak.

"Aku mau belajar sama kamu kalau gitu," tekad Alvin dan hanya diangguki oleh Rio. Dia tidak masalah kalau memang Alvin ingin bersungguh-sungguh untuk belajar. Hal itu justru menguntungkan baginya, karena dengan itu dia juga akan belajar.

"Buku kamu kok sudah lengkap begitu?" tanya Alvin. Seingatnya buku Rio masih tersegel dengan baik di dalam ransel setiap saat. Tidak pernah menulis sedikitpun apalagi pelajaran sejarah yang dua jam lagi diujikan.

"Nyontek tulisan teman," jawab Rio seadanya. Lelucon bagi Alvin. Mana bisa menulis sebanyak itu semalaman. Rio hanya mengangkat bahu enggan berdebat. Dia memang semalaman tidak tidur setelah mendapat foto catatan pelajaran dari teman basketnya. Teman perempuan, tentu tulisan begitu jelas, rapi, dan lengkap. Dia bahkan sudah menulis materi lainnya.

"Nanti malam aku nginep di rumahmu ya, Yo. Mau belajar bareng," ujar Alvin saat dia selesai belajar. Tidak terasa bel masuk ujian kedua berbunyi. Alvin merasa gugup karena pelajaran ini hanya belajar selama dua jam bersama Rio, sedangkan yang ia pelajari tiga hari lalu tidak ada kecocokan sama sekali. Bagaimana bisa bukunya sama sekali tidak berguna, padahal dia cukup sering menulis.

***

Ah, ternyata tidak sia-sia Alvin belajar dengan Rio. Materi yang mereka pelajari sungguh masuk di ujian. Alvin percaya diri dengan yang ia ingat, sehingga kali ini dia keluar cepat karena benar-benar selesai mengerjakan. Dia mengerjakkan dengan terburu-buru, tentu karena takut materi di kepalanya hilang.

QuerenciaWhere stories live. Discover now