35. Ketakutan

433 22 0
                                    

Arghi duduk di ruang tamu sedangkan Rio tampak pergi ke dapur untuk membawa kompresan. Arghi sudah berkali-kali menyeka wajahnya agar tidak mengucurkan air mata. Menahan perihnya luka lebam di pelipis, hidung, bahkan pipinya. Sudut bibirnya berdarah entah sejak kapan, Arghi tidak sadar akan hal itu. Belum lagi luka di hatinya karena mendapat kekerasan dari orang tuanya sendiri dan itu dilakukan di hadapan teman sekelasnya. Rasanya ingin segera mengubur diri saja.

Rio kembali membawa air hangat beserta kain untuk mengompres luka Arghi. Dia duduk di sebelah remaja lusuh tersebut dan mencelupkan kain tersebut dalam air yang masih cukup panas, lantas memerasnya. Hendak mengompres luka di pipi Arghi, tetapi mendapat penolakan dari lelaki itu dengan menjauhkan wajahnya dari jangkauannya.

"Kalau nggak dikompres nanti makin bengkak," ujar Rio membujuk agar Arghi mau ia kompres. Rio kembali mendekatkan kain kompres dan kali ini Arghi tidak menjauh, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan kain lap yang terasa panas.

"Aduh!" pekiknya merasa kulit pipinya kepanasan. Dia mencoba menjauh tapi Rio terus menempelkan kain tersebut menyentuh pipinya. Membuatnya merintih kesakitan dan meminta Rio untuk segera berhenti mengompresnya.

"Mau pake es? Tapi lebih sakit pake es, aku ambilin dulu," tanggap Rio dan pergi ke dapur mengambil baskom lantas menuang es batu. Dia kembali duduk di sebelah Arghi dan mulai menggelar kain tadi untuk meletakkan beberapa kubik es di atas kain. Melipatnya dan menempelkannya pada pelipis mata Arghi.

"Gimana?" tanya Rio melihat respon Arghi yang masih meringis sembari menggerakkan kepalanya mencoba untuk menjauh darinya. Rio tidak membiarkan Arghi lolos dari kompresannya, jadi dia terus mengejar wajah Arghi sampai tangannya mulai terasa dingin.

"Sakit, Yo!" keluh Arghi dengan wajah yang memelas. Tapi rupanya wajah melasnya tak berarti apapun untuk Rio. Buktinya ia melihat Rio bersiap kembali untuk mengompresnya. Kali ini tangannya sigap menahan lengan kekar Rio agar tidak lagi mengompresnya. Rio menyerah membiarkan Arghi berbuat semaunya.

"Udah mandi belum? Bau banget," keluh Rio mencoba membuat Arghi mandi di rumahnya karena pakaian Arghi yang sangat kusut. Kemeja yang seharusnya putih telah berubah warna menjadi kecokelatan terkena tanah. Entah Arghi baru berguling dimana sampai mendapat kotoran sebanyak itu di kemejanya. Belum lagi celana hitam yang terlihat sangat kotor, jauh lebih buruk dari kemejanya.

"Dih wangi gini dibilang bau," protes Arghi dengan mengerucutkan bibirnya. Entah sejak kapan dia sudah tidak menangis. Air matanya kering di pipi, memperlihatkan wajahnya yang tampak seperti bocah lima tahun

"Sana mandi! Jorok banget, bau gini dibilang wangi," suruh Rio dan menarik tangan Arghi agar mau mandi. Dia siap meminjamkan kaus dan celananya.

"Iya iya..." geram Arghi dan berdiri dengan wajah merengut.

Namun, belum sempat Arghi melangkah menuju kamar mandi pintu rumah Rio dibuka tanpa permisi dari luar. Rio lupa menguncinya tadi. Jadi, pintu rumahnya menjeblak dengan keras dan menghantam dinding rumahnya.

"Pulang sekarang!"

Dengan suara penuh penekanan mama Arghi menarik putranya. Dia bahkan memukul kepala putranya agar putranya mau menurut kepadanya dan segera pulang. Rio berdiri menarik Arghi di sisi yang satunya, tidak mengizinkan wanita itu membawa Arghi pulang.

"Kamu anak kecil nggak usah ikut campur urusan keluarga saya!" tegasnya melihat Rio dengan galak. Rio tidak menurut dan terus mencoba menarik Arghi dari wanita tersebut. Neila geram dan melepas tangan putranya lantas mendekat Rio. Dia sudah siap memukul Rio, beruntung Rio segera menjauh.

"Kalau tante berani buat kerusuhan di–..."

"Apa? Saya juga bisa laporin kamu ke polisi kalau kamu ikut campur urusan saya! Pulang Arghi!" galaknya segera memotong ucapan Rio. Arghi mencoba membebaskan diri dari mamanya bahkan menghentakkan tangannya sampai genggaman di pergelangan tangannya terlepas.

QuerenciaWhere stories live. Discover now