98. Ucapan Selamat

210 25 0
                                    

Seusai acara wisuda, Rio dibantu rekan basketnya membawa hadiah yang didapatkan olehnya ke mobil ayahnya. Beberapa rekannya menyoraki Rio tentang betapa kaya penggemar Rio sampai ada yang menghadiahi setelan jas bahkan sekotak cokelat. Padahal, Rio jelas tidak terlalu suka cokelat. Dengan bantuan rekannya, Rio tidak kesulitan membawa semua hadiah ke mobil.

Jadi, sebagai ucapan terima kasih dia membiarkan temannya memilih hadiah miliknya untuk dibawa pulang. Mereka senang bukan main, kapten basket mereka memang sebaik itu. Setelah mendapat hadiah mereka melambaikan tangan pada Rio dan membiarkan mobil tersebut melaju keluar area sekolah.

Sepanjang jalan Rio hanya duduk memejamkan matanya, dia kelelahan karena harus berdiri lama-lama untuk berfoto. Memang berlari atau mendribble bola tapi, hadiah dari mereka membuat tangan Rio pegal-pegal. Kedua orang dewasa tersebut juga tahu bahwa Rio kelelahan jadi, membiarkan Rio istirahat selama perjalanan.

Ica tidak berani bertanya apakah tadi Jofan dan Arghi juga berfoto dengan Rio atau tidak. Dia tahu remaja tersebut masih belum bisa berdamai dengan sahabatnya. Padahal bagi Ica, masalah mereka hanyalah kesalahpahaman. Arghi yang tidak bisa membohongi perasaannya menerima perasaan seorang gadis. Gadis tersebut juga tidak memiliki perasaan pada Rio, maka tidak ada yang patut disalahkan.

Kemarahan Rio, Ica kira hanyalah kemarahan singkat. Namun, rupanya sampai hari ini tidak ada tanda-tanda akan berdamai. Rio bahkan keras kepala tidak mau menjenguk Alvin padahal Ica sudah memintanya berkali-kali. Dia tidak bisa memaksakan putranya. Meskipun Rio anak penurut tetapi, dia rasa ini adalah saat fase dimana pemberontakan seorang Rio. Semua memiliki harinya masing-masing untuk memberontak dan mencari jati diri. Merubah pola pikir dari remaja menjadi dewasa. Mungkin saat ini adalah waktunya bagi Rio.

Sampai di rumah, ada mobil yang terparkir tidak jauh dari agar rumah. Membuat Ari kesulitan memasukkan mobilnya. Beruntung, si supir ada di mobil sehingga bisa segera menyingkir dari pagar rumah mereka. Rio membuka matanya dan bersiap turun dari mobil.

"Itu Alvin, Yo!" pekik Ica melihat seorang remaja duduk di kursi roda bersama wanita paruh baya di dekat pintu rumah mereka. Rio menghentikan gerakan tangannya yang akan membuka pintu mobil, melihat Alvin memandang ke arah mobil.

Rio tidak mau menemui Alvin, dia enggan melihat wajah sendu itu. Apalagi kalau sampai Alvin memintanya berbaikan dengan Arghi, dia tidak mau. Dia memilih kembali duduk di mobilnya, tidak mau keluar.

Ica keluar dan membuka pintu rumahnya, mempersilakan kedua tamunya masuk ke rumah. Alvin menggeleng ringan dengan senyumnya. Dia tidak berniat bertamu, hanya ingin bertemu Rio. Sang nenek juga tidak bisa masuk karena cucunya enggan masuk.

"Rionya dimana, Tante?" tanya Alvin dengan suara seraknya. Ica menunjuk mobil dan kembali mengajak Alvin masuk ke rumah. Dia tidak tega melihat wajah pucat itu di luar rumah sedangkan cuaca hari ini begitu panas.

"Masuk dulu ya, Vin. Biar tante panggil Rionya. Tadi dia tidur di jalan, pasti belum bangun," rayu Ica berjongkok di depan Alvin. Remaja itu tetap menggeleng dengan wajah pucatnya.

"Masuk dulu, Vin!" ucap Ari baru keluar mobil. Dia sempat mengajak Rio keluar menemui Alvin tetapi, putranya itu enggan menyahutinya. Lebih memilih memejamkan mata dan pura-pura tidur. Ari tidak buta untuk melihat Rio yang sudah siap turun dari mobil tadi.

Akhirnya Alvin mau masuk ke rumah karena kursinya di dorong ayah Rio. Sang nenek mengikuti masuk ke rumah, duduk di ruang tamu dengan nyaman. Dia sudah berdiri di luar rumah keluarga Rio sekitar tiga jam. Alvin menolak pulang dan keras kepala menunggu Rio.

"Sebentar ya tak panggilkan Rionya," ucap Ari baru saja melepas jas. Dia kembali keluar memanggil Rio. Membuka pintu mobil di dekat Rio dan meminta putranya segera turun.

"Nanti, Yah..." sahut Rio. Dia enggan menemui Alvin. Dadanya merasa sesak melihat penampilan Alvin. Kupluk abu-abu itu menyembunyikan kepala botak remaja seusianya, bibir pucat itu tampak kering, bahkan kedipan mata Alvin tampak menyedihkan untuk ia lihat.

"Yo! Alvin udah nunggu daritadi, kamu nggak kasihan?" tegas Ari merasa jengkel dengan sikap putranya.

Rio akhirnya mau turun dengan wajah malas. Dia masuk ke rumah hampir melengos melewati Alvin namun, tangan lemas Alvin berhasil menyentuh tangan Rio. Walaupun tidak sampai mencekal Rio tapi, itu berhasil membuat Rio menghentikan langkahnya.

"Yo," panggil Alvin dengan tenggorokan keringnya. Suaranya bahkan menjadi lirih untuk bisa didengar dengan jelas. Rio enggan berbalik. Tidak mau menatap Alvin.

"Apa?" ketusnya tanpa rasa. Alvin meringis mendengar betapa Rio bersikap keras padanya. Entah kapan terakhir kali Rio menyapanya dengan suara lembut dan menenangkan, Alvin sudah lupa. Lupa karena penyakitnya.

"Yo, nggak mau lihat aku?" tanya Alvin cemberut. Rio tak menanggapi tapi, karena mendapat pelototan dari bundanya dari dapur Rio akhirnya berbalik sungkan. Bahkan dia baru sadar nenek Anti menatapnya dengan senyuman. Itu membuat Rio sedikit kikuk.

"Apa?" tanya Rio lagi menahan malu. Dia merajuk di depan orang tua, sungguh memalukan. Meskipun nenek Anti tidak bereaksi apapun dan hanya tersenyum, tetap saja memalukan.

"Selamat ya buat wisudanya, pasti nilai kamu bagus kan?" ucap Alvin dengan senyuman tipisnya. Bibir kering itu tampak berkedut tidak bisa berlama-lama mengulas senyum. Alvin menelan ludahnya dan membuat tenggorokannya sakit, "makasih udah jadi temen masa SMA aku. Walaupun aku nggak lulus, seenggaknya aku bisa temenan sama kamu di awal SMA kan? Oh iya, makasih juga udah sering bantuin aku di sekolah," lanjut Alvin.

Rio diam tak membalas ucapan Alvin. Bahkan enggan menatap Alvin yang duduk mendongak mencoba menatapnya. Alvin mengangkat tangannya menggapai tangan besar Rio. Rio terkejut karena mendapat sentuhan dingin dari Alvin. Tangan Alvin dingin sekali. Rio menatap tangan kurus tersebut yang begitu pucat dan tak tampak hangat.

Dengan pasrah dia akhirnya membiarkan Alvin menggenggam tangannya di kedua tangan pucat Alvin. Merasakan betapa dingin dan kurus tangan Alvin menggenggam tangannya. Alvin terkekeh merasa sengatan panas yang menjalari tangannya dari tangan Rio.

"Tangan kamu tetep hangat. Kamu memang orang baik, Yo. Maaf jadi pengaruh buruk buat kamu di masa SMA. Aku tahu kamu pasti capek kan bantuin aku terus, bahkan bolak-balik ke rumah sakit buat nemenin aku," ucap Alvin masih tersenyum menatapi tangan Rio di genggamannya. Dia merasa nyaman menggenggam tangan hangat tersebut. Kalau dengan neneknya, dia merasa tak bisa meremas tangan sang nenek, takut neneknya kesakitan. Tetapi, dengan tangan Rio, dia bisa meremas mencari hangat sebuah kulit manusia.

"Kalau aku minta kamu datang di operasi aku, kamu mau nggak yo? Cuma sehari kok. Nenek aku sendirian di luar, aku nggak tahu harus minta tolong siapa lagi," pinta Alvin.

Dapat Rio dengarkan suara gemetar Alvin. Bahkan tangannya mulai mendapat tetesan air mata dari Alvin. Dadanya sesak seketika. Dia orang jahat kan? Mengapa Alvin memperlakukannya seperti orang baik. Rio memalingkan wajahnya tidak mau meneteskan air matanya. Dia bukan orang yang bisa menangis, dia tidak pantas untuk itu.

"Yo, mau ya? Kalau operasinya berhasil, aku janji nggak akan muncul di depan kamu lagi. Yo, tolong..." pinta Alvin sesenggukan. Ica yang melihat Alvin menangis memohon pada putranya merasa tidak enak hati. Dia mendekat namun, segera ditahan suaminya membuatnya menatap tidak percaya suaminya tega pada Alvin.

"Percaya sama Rio," bisik Ari. Ica tidak bisa melangkah maju dan membiarkan putranya mengambil keputusan. Dia berharap putranya tak sekeras itu sampai enggan membantu Alvin. Hanya duduk menunggu di ruang tunggu dan menanti operasi Alvin, tidak ada sulitnya.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
QuerenciaWhere stories live. Discover now