84. Yayasan Panti Asuhan

175 15 0
                                    

Alvin selalu mengekor Rio kemanapun laki-laki itu pergi. Bahkan tanpa tidak tahu malu, Alvin akan ikut bergabung bersama dengan gerombolan anak basket pada saat jam makan siang. Dia akan menarik tangan Rio meminta remaja itu duduk kembali dan menunggunya selesai makan atau bahkan dalam beberapa waktu Alvin harus meninggalkan makan siangnya yang belum ia habiskan karena Rio pergi lebih dulu. 

Ini sudah lebih dari enam bulan Rio mendiamkannya. Hubungannya dengan Arghi dan Jofan merenggang karena dia lebih memilih mengikuti Rio. Lagipula Arghi sudah bersama Jofan, jadi tidak ada salahnya kalau dia bersama Rio.

"Yo, tunggu..." cicitnya siang itu. Saat mereka hendak pergi ke lapangan untuk olahraga. Alvin belum memasukkan ponselnya ke dalam tas padahal sejak tadi Gilang sudah rusuh meminta mereka ke lapangan. Sehingga pada saat yang lain sudah keluar kelas, Alvin ribut memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Rio yang mendengar Alvin, memelankan langkah kakinya membiarkan Alvin yang tengah rusuh mengatur tasnya bisa segera melangkah keluar kelas bersama dengan dirinya. Hampir saja remaja itu jatuh tersungkur karena terburu-buru, betapa cerobohnya. Rio tidak mau menoleh atau sekedar menanyakan keadaan Alvin. Dia tetap melangkah menuju lapangan. Sementara di belakangnya Alvin sudah mengumpat kesal karena hampir jatuh tersungkur.

Hari ini penilaian lari. Alvin malas-malasan lari. Di sebelahnya ada Jofan. Mereka mengobrol sesekali meskipun lari mereka lambat tetapi tetap tidak bisa ditandingi oleh para siswi. Bayangkan bagaimana Rio dan Gilang berlari memimpin lintasan. Sampai akhirnya mereka telah menyelesiakan lari sepanjang tiga kilometer dan bisa duduk santai menunggu yang lainnya selesai berlari.

Alvin hanya mencibir kesal melihat Rio sudah duduk dengan santai di pinggir lapangan dengan botol air minum sementara dia masih harus berlari berusaha mengejar target. Sekitar lima menit kemudian Alvin selesai lari bersama Jofan dia duduk di sebelah Rio, menyandarkan dirinya pada remaja yang tubuhnya lebih besar darinya. Rio membiarkan Alvin bersandar di sebelahnya, asal tidak macam-macam akan dia biarkan.

"Minta..." ujar Alvin menunjuk sebotol air minum yang Rio bawa dari rumah. Rio mengulurkan tangannya memberikannya pada Alvin. Alvin kegirangan dan duduk dengan tegap, lantas meneguk air pemberian Rio. Rencana pendekatannya selama ini membuahkan hasil. Rio mulai kembali menerimanya. Baguslah.

"Capek banget," keluh Alvin kali ini merebahkan kepalanya di paha Rio. Rio terkejut dan menopang tubuhnya dengan kedua tangannya ke belakang. Membuat kepala Alvin tak menyentuh perutnya. Dia menatap Alvin yang tampak asik menonton para siswi berlari.

"Ih Alvin sama Rio kayak gay banget asli," ceplos seorang siswi membuat Rio segera mengangkat kepala Alvin. Meminta Alvin segera menjauh darinya. Alvin mana peduli, dia melah gencar merebahkan kepalanya di paha Rio membuat keributan kecil terjadi.

"Bangun!" tegas Rio menatap Alvin dengan wajah seriusnya.

"Nanti pulang sekolah antar aku ya, aku mau pergi ke suatu tempat, tapi nggak berani naik motor sendirian," pinta Alvin membuat Rio memutar bola matanya. Tentu saja enggan menuruti permintaan Alvin. Untuk apa? Tidak akan ada untungnya.

"Aku bakal bangun kalau kamu janji mau antar aku," ujar Alvin memanfaatkan. Rio mendorong kepala Alvin menjauh darinya. Bahkan dia sudah melipat kakinya duduk bersila. Alvin melingkarkan tangannya di pinggang Rio, membuat jeritan para siswi terdengar gemas melihat keduanya.

"Iya!" seru Rio akhirnya. Alvin nyengir senang dan beringsut duduk.

***

Sesuai janji, sepulang sekolah Rio membolos pramuka sama seperti Alvin dan mengantar remaja itu entah kemana. Bahkan rupanya Alvin tidak naik motor pagi ini, betapa matang rencana seorang Alvin. Rio mengendarai motornya mengikuti arahan Alvin. Mereka sampai di pinggiran kota.

QuerenciaKde žijí příběhy. Začni objevovat