93. Tekad

247 22 0
                                    

Pagi ini, Jofan duduk di depan ruang kelas 12 Mipa-1 dengan wajah tegang. Beberapa siswa yang baru saja datang memandang penuh rasa heran pada Jofan. Yang ditatap semakin tertunduk dengan bibir kering yang berkali-kali dibasahi oleh air liurnya sendiri. Ini memang bukan ruang kelasnya, melainkan ruang kelas Rio. Dirinya sengaja menunggu di depan ruang kelas Rio dengan tujuan berbincang dengan sahabatnya yang telah lama tak bertegur sapa dengannya itu.

Seminggu ini dia berusaha menghubungi nomor Rio, alhasil nomornya kena blokir sang empu. Pastilah Rio menganggap dirinya sebagai pengganggu. Tidak ada cara lain, selain menemui Rio secara langsung di ruang kelas. Dia tidak berani datang ke rumah Rio karena rumah Rio dekat dengan rumah Arghi. Kalau sampai ketahuan Arghi, dia bisa kena omel. Dia ada di posisi yang serba, tidak mengenakan.

Sudah sejak pukul enam pagi Jofan duduk termenung menunggu Rio. Hingga akhirnya saat dirinya sudah hampir menyerah menunggu sang empu menampakkan batang hidungnya. Berjalan dengan santai saat bel masuk telah berbunyi nyaring. Rio berjalan bersama Anton yang satu kelas dengannya. Dia harus segera memanggil Rio karena lelaki itu nampaknya tak ada niatan untuk berhenti sekedar menyapanya.

"Yo..." cicit Jofan membuat Rio memandangnya sejenak. Anton juga ikut memandang pada Jofan, tapi kemudian remaja itu berjalan lebih dulu dan masuk ke kelas 12 Mipa-2. Membiarkan dua sahabat yang terlibat perseteruan itu saling berbincang.

"Nana minta kamu jenguk dia, Yo..."

Rio kembali melangkahkan kakinya melewati Jofan begitu saja membuat Jofan segera mencekal lengannya berusaha menghentikannya sebentar. Hanya meminta sedikit waktu kepada Rio untuk mendengar pesan dari Alvin saja. Dia mencekal kuat lengan Rio berusaha untum menghentikan langkah Rio. Bahkan Jofan sudah masuk ke dalam ruang kelas 12 Mipa-1 membuat sedikit keributan berhasil menarik atensi seisi kelas.

"Singkirin tangan kotor kamu!" tegas Rio menatap tajam pada Jofan membuat remaja pendek itu langsung ciut nyalinya. Jofan beringsut mundur sembari melepas cekalannya. Lantas menatap Rio yang berjalan masuk dan langsung mengambil duduk di bangkunya, tidak peduli padanya.

"Mending balik ke kelasmu aja, udah bel masuk juga!" seru siswa lain yang merasa terganggu dengan kehadiran Jofan. Jofan mundur lantas berbalik menuju ruang kelasnya. Rencananya gagal untuk membuat Rio mau berbicara dengannya atau bahkan mendengar ucapannya barang hanya sebentar.

Dia masuk ke dalam kelasnya dengan wajah lesu. Arghi menatapnya diam. Dia tahu Jofan dari ruang kelas Rio, teman sekelasnya yang memberi tahu. Dia marah tentu saja, untuk apa Jofan tetap melakukan hal yang ia larang. Dia seperti dikhianati oleh sahabat yang ia percaya.

Sampai Jofan duduk di kursi sebelahnya, Arghi tidak membuka mulut sedikitpun. Memperlihatkan wajah kakunya yang tidak mengenakan untuk dilihat. Jofan menoleh dengan canggung memandang pada Arghi yang tidak memandangnya, "nanti kita jadi ke rumah Nana, kan?" tanya Jofan memastikan.

"Enggak, aku nggak pergi. Ada acara," alibi Arghi membuat wajah Jofan kian kusut. Jofan sadar Arghi tahu apa yang ia lakukan beberapa menit lalu. Bukan inginnya pergi menemui Rio, itu keinginan Alvin. Toh tidak ada salahnya menemui sahabatnya, yang bermasalah hanya Arghi dan Rio. Dia dan Alvin sama sekali tidak terlibat, untuk apa dihubung-hubungkan?

Jofan diam tidak mau mendebat apalagi memaksa Arghi datang. Dia bisa sendiri pergi ke rumah Alvin. Sepulang dari sekolah dia juga ingin kembali menemui Rio. Membujuk remaja itu untuk pergi menemui Alvin. Dia akan lebih berupaya untuk membuat Rio berdiri diam dan mendengarnya. Kemudian datang menemui Alvin sesuai keinginan sahabat termuda mereka.

***

Siang ini, Arghi harus berkumpul dengan anggota klub musiknya membuat Jofan harus makan siang sendirian. Dia duduk di kantin sendirian. Menertawakan dirinya yang tidak bisa lagi menikmati momen kebersamaan tiga orang sahabat pertamanya. Bakso di mangkuknya hanya ia aduk sembarang tanpa ada niat untuk menyantapnya. Hingga kemudian mata kecilnya melihat Rio diantara keramaian kantin.

Rio tampak bersenda gurau dengan Anton sembari membawa sepiring nasi goreng andalannya. Jofan menggigit pipi dalamnya mengingat kejadian pagi ini. Ucapan kasar Rio terngiang di kepalanya secara mendadak. Membuat rasa takut semakin memperkecil tekad seorang Jofan. Lantas Rio serta Anton duduk bergabung dengan rekan satu basketnya. Pupus sudah tekad Jofan. Dia tidak pernah berani berhadapan dengan orang lain. Dulu, saat ia di sisi Rio dia bisa mengobrol dengan banyak orang tanpa takut akan apapun. Sekarang, dia sendirian. Rasanya takut. Tapi, takutnya ini tidak akan menyelesaikan masalah. Maka, dengan tekad sebesar biji jagung dia akhirnya bangkit berdiri dan menghampiri Rio.

"Rio..." panggil Jofan berdiri di sisi Rio yang baru saja duduk dan meletakkan es teh miliknya. Remaja itu tidak banyak berubah, masih suka makan siang dengan menu nasi goreng. Yang dipanggil menoleh sebentar namun, kembali sibuk mengatur meja. Mulai menyeruput es teh dan mengaduk sebentar nasi goreng di piringnya.

"Aku mau bicara, Yo," ujar Jofan dengan suara mencicit layaknya tikus mencit. Keberanian Jofan sudah sirna tak berbekas. Yang diajak bicara melirik tak minat. Malah yang memandanginya adalah teman basket Rio. Membuat Jofan meneguk ludahnya, gugup.

"Aku mau makan, lain kali aja."

Rio akhirnya bersuara setelah menunggu ucapan Jofan selanjutnya yang tak juga terutarakan. Jofan meneguk ludahnya sampai tersedak. Bodoh! Harusnya dia segera mengutarakan niatnya. Bukan malah diam saja menunggu respon dari Rio.

"Pergi aja, Bro. Jam istirahat kita nggak banyak," jelas Anton yang kurang mengenal sosok Jofan. Meski satu kelas Anton tak begitu akrab dengan Jofan. Dia hanya tahu sekelebat cerita ketiga sahabat Rio dari beberapa sumber yang sayup-sayup terdengar di telinganya. Selain itu, sikap Rio belakangan yang cukup plin-plan membuat Anton tidak mau membiarkan Rio badmood. Bisa-bisa Rio dan kawan satu timnya kena omel pak Niki karena tidak fokus berlatih. Rio selalu egois saat marah. Menjaga bolanya seorang diri tanpa mau mengoper pada siapapun hingga akhirnya tim mereka yang dirugikan.

"Tapi, ini penting, Yo!" ungkap Jofan tetap berusaha membujuk. Dia menghentikan gerakan Rio yang hendak menyuap kembali nasi goreng ke dalam mulutnya. Rio mengatupkan rahangnya hingga memejamkan matanya meredam emosi. Anton sudah mengembuskan napasnya, mengetahui sang kapten terlanjur tersulut emosi.

Dengan kasar Rio mengentakkan tangannya sampai genggaman Jofan kepadanya lepas lengkap dengan sebdok di tangannya yang ikut jatuh mengenai lantai. Bunyi benda stainless steel yang membentur lantai membuat kegaduhan di kantin mendadak lenyap seketika. Semua memandang pada Rio dan Jofan. Jofan sudah melangkah mundur, terkejut dengan respon yang diberikan Rio juga tatapan tajam teman-teman Rio dan semua yang ada di kantin. Dia merasa tatapan penuh intimidasi dari mereka semua. Tapi, kepalang tanggung. Dia harus bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk membujuk Rio.

"Yo-...."

"Pergi sebelum aku buat kamu malu!" pungkas Rio cepat. Anton yang sudah hendak menghentikan Rio akhirnya diam. Jofan mengepalkan tangannya berusaha membulatkan tekad untuk tidak mundur sekarang juga. Sebelum Rio menyanggupi permintaan Alvin, dia tidak boleh menyerah. Anton memandang Jofan mencoba memberi isyarat agar lelaki mungil itu segera pergi, tapi Jofan tidak peduli.

Seisi kantin menatap keduanya, saling berbisik. Jofan sendiri berpura-pura tuli, berharap dengan begitu Rio menjadi abai dan membiarkannya berbicara dengannya sampai usai. Rio mengatur nafasnya di kursinya berusaha meredakan emosinya sendiri. Tapi, Jofan tak juga mengerti dengan peringatannya membuat emosinya kian mendidih. Hingga hal yang tidak diinginkan terjadi. Rio berdiri di depan Jofan memandang tajam lelaki mungil tersebut dan sedetik setelahnya es teh miliknya telah berpindah isinya mengguyur tubuh Jofan.

"Huh!"

"Pergi sekarang juga, aku muak lihat wajah kamu!"

"Pergi sekarang juga, aku muak lihat wajah kamu!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
QuerenciaWhere stories live. Discover now