26. Sebuah Tamparan

363 22 0
                                    

Arghi masuk ke dalam rumah mendahului kedua orang tuanya. Kehadirannya segera disambut oleh adiknya yang tampak duduk di tangga sendirian. Bocah itu selalu mengejutkan Arghi dengan panggilannya.

"Kak Arghi..." panggil dengan nada manja seperti biasa. Namun wajah cemberutnya langsung berubah menjadi tegang kala mata kecilnya melihat kehadiran kedua orang tuanya yang masuk setelah kakaknya. Miko mengerjap bingung harus apa. Kakaknya akan mengusirnya kalau mengikutinya masuk ke kamar tetapi, dia tidak berani ke kamarnya. Kamar itu masih gelap.

"Ayo!" ajak Arghi dan melangkah melewati adiknya, terus menaiki anak tangga menuju ke kamar. Miko tercekat mendengar ajakan tersebut, namun segera naik tangga dengan terburu-buru, untuk melarikan diri dari kedua orang tuanya.

"Berhenti di situ Arghi!"

Sayangnya suara itu lebih dulu menghentikan langkah keduanya di pertengahan anak tangga. Arghi menghentikan langkahnya dan mengembuskan napasnya lantas menoleh menatap dua orang di lantai satu tersebut dengan wajah malas. Dia tidak akan susah payah turun untuk menghadap keduanya. Tidak perlu. Hanya akan buang-buang waktu.

"Turun!" perintah tegas dari sang kepala keluarga itu membuat Miko takut. Arghi melirik adiknya yang menciut, menunduk di belakangnya.

"Bawa ini ke kamar!" perintah Arghi. Dan ia menyerahkan alat lukisnya dan meminta adiknya pergi ke kamarnya. Seingatnya dia tidak mematikan lampu kamar saat pergi ke sekolah karena perlu lampu untuk mencari kuncinya. Miko ragu-ragu pergi ke kamar kakaknya. Arghi menunggu adiknya sampai masuk.

Begitu pintu kamarnya tertutup, barulah Arghi turun ke bawah, menghadap kedua orang tuanya. Entah apa yang akan dibahas kali ini, Arghi tidak ada ide sama sekali. Sudah ada banyak series yang ia bintangi. Entah menjadi seorang anak iblis, anak anjing, bahkan yang terbaru anak sialan. Dia hanya berdiri diam menatap keduanya yang terlihat menunjukkan wajah marahnya seperti biasa. Tidak ada yang spesial.

"Apa?" tanya Arghi dengan jengah. Dia ingin segera kembali ke kamarnya dan mengerjakan tugas yang ia lupakan.

"Dimana kartu atm kamu?" tanya mamanya sembari menengadahkan tangannya. Arghi membuang mukanya mendengar itu. Sudah mengambil kunci motornya sekarang kartu atmnya yang diminta. Mereka tengah berusaha membuatnya mati atau bagaimana? Series yang ia bintangi kali ini mungkin menjadi seorang anak kelaparan.

"Buat apa? Sejak awal kalian bilang itu milikku dan berjanji akan terus mengisinya tiap bulan. Bukankah sebuah penipuan kalau sekarang kalian meminta kartu tersebut, pengacara Key?" ujar Arghi menatap papanya yang merupakan pengacara sekaligus pebisnis sukses. Key menatap Arghi tidak suka mendengar putranya menyebutnya seperti itu. Tidak punya sopan santun.

"Itu kalau kamu menurut perintah kami! Bahkan bersekolah di luar negeri saja kamu menolak, justru memilih sekolah seperti itu. Berikan kartumu!" tegas mamanya tidak mau peduli alasan Arghi.

"Tidak akan kuberikan. Lagipula bedanya apa sekolah dalam negeri dan luar negeri. Toh akhirnya aku jarang bertemu orang tuaku," ujar Arghi dan segera beranjak pergi.

"Bocah setan! Kembali ke sini!" teriak Key hilang kesabaran melihat putranya seenaknya meninggalkannya di tengah pembicaraan. Dia menarik putranya sampai remaja itu terjengkang. Dia tidak akan memberi ampun pada remaja yang berkali-kali membuatnya hilang kesabaran.

"Apa? Sudah aku katakan aku tidak akan memberikan kartu itu. Kalian bahkan mengambil kunci motorku!" teriak Arghi tak mau kalah. Dia berdiri, menepuk pantatnya membersihkan debu di celananya sekaligus menahan rasa ngilu.

"Kamu pikir kamu siapa bisa berteriak semaumu? Hidupmu masih butuh bantuanku, kalau aku sudah tidak mau menghidupimu siapa yang akan sudi menghindupimu?" kerah seragam Arghi direnggut membuatnya harus berjingjit agar tidak tercekik papanya sendiri. Arghi tidak mau mengalah begitu saja. Dia menatap tajam papanya.

QuerenciaWhere stories live. Discover now