66. Realita

161 11 0
                                    

Sampai di mall keduanya segera pergi ke toko buka. Sila bilang ingin melihat-lihat buku novel sekalian mencari referensi penelitian yang mungkin saja bisa ia kembangkan. Rio mengikuti di belakaang. Sesekali dia juga melihat buku karena merasa bosan tentu saja.

Diantara rak buku Rio bisa lihat Sila tampak asik menjelajah rak novel. Gadis itu pecinta novel, benar-benar cocok dengan jurusannya. Mungkin saja cita-cita Sila menjadi seorang guru bahasa indonesia atau bahkan jurnalis, tapi Rio menebak Sila ingin menjadi sastrawan. Wajahnya juga tampak sangat cantik, secantik bait dalam puisi dan syair.

Setelah sibuk memandangi Sila, Rio kembali membunuh kebosanan dengan melihat-lihat buku. Dia tertarik dengan buku mewarnai. Jofan sering membawa buku semacam ini, tapi jarang menggunakannya. Dia lebih suka menggambar sendiri kemudian mewarnainya. Ingin membelinya tapi Rio tidak suka mewarnai, tapi kalau tidak dibeli rasanya sayang. Cover di buku tersebut sangat menarik dan seperti ini dibeli.

"Kamu nggak beli apa-apa?" tanya Sila saat sampai di kasir. Dia memilih dua novel keluaran terbaru dan satu buku pelajaran. Rio menunjukkan buku mewarnainya dan membuat Sila mengangguk.

Setelah itu mereka memilih pergi ke cafe yang letaknya tak jauh dari toko buku. Duduk menikmati minuman masing-masing. Mereka mengobrol mengenai karya tulis tentu saja karena memang tujuan mereka ke tempat ini untuk membicarakan hal tersebut. Sila sibuk mencatat apa saja yang Rio dikte. Mulai dari standar penilaian, aturan penulisan, struktur tulisan, dan bahkan Rio mengusulkan sebuah judul. Sila senang karena bisa mendapat banyak pencerahan dari Rio.

"Besok aku mulai kerjain, nanti kalau aku minta bantuanmu boleh kan?" tanya Sila sembari menutup buku tulisnya. Dia lantas menyeruput smoothies strawberry yogurt dengan mata yang terus menatap Rio.

"Iya boleh, chat aja langsung. Atau bisa ketemu kayak gini lagi," jawab Rio. Mati-matian dia menahan diri agar tidak tersenyum lebar dengan modusnya tersebut. Sila manggut-manggut setuju.

Keduanya kembali diam dan sibuk dengan minuman masing-masing. Kue yang dipesan Sila juga sudah habis. Sepertinya pertemuan mereka hari ini akan berakhir. Rio putar otak mencari ide agar bisa menunda perpisahannya dengan Sila. Dia masih ingin bersama gadis itu hari ini. Tidak rela sekali kalau harus pulang secepat ini.

"Mau makan siang bareng nggak?" tanya Rio akhirnya memberanikan diri. Sila mendongak dan tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk setuju.

"Boleh, makan di mana?"

"Em, kamu maunya di mana?"

Mereka memutuskan untuk mencari makan di pinggiran jalan. Memutuskan untuk membeli bakso yang terlihat menggiurkan. Keadaan warung bakso tersebut sangat ramai, karena ini masuk jam makan siang tentu saja.

"Yang sebelah sana aja, lumayan sepi," ajak Rio melihat warung bakso lain yang tampak sepi pelanggan.

"Sini aja. Kalau di sana kan sepi, pasti baksonya nggak enak," sahut Sila dan berdiri mengantre. Rio cukup terkejut dengan pemikiran Sila. Karena dia terbiasa makan sembarang tempat yang nampak sepi. Nyatanya warung yang sepi tersebut menyajikan makanan tak kalah enak, bahkan setelah ia makan di tempat tersebut para pelanggan mulai berdatangan dan memenuhi tempat.

"Kamu duduk aja, biar aku yang pesen," usul Rio pada Sila yang tampak kelelahan berdiri. Sila berbalik dan mengangguk setuju. Dia menyebutkan pesanannya pada Rio dan pergi mencari kursi kosong.

Entah kenapa ucapan Sila beberapa menit lalu terngiang di kepalanya. Padahal itu hal yang sangat sepele, tapi Rio terus-terusan memikirkannya. Sangat kecewa dengan tutur kata Sila yang menjudge warung lain.

Rio memesan dua bakso dan dua es teh, kemudian dia pergi ke tempat Sila duduk. Dia sudah menempati satu meja dan tersenyum lebar pada Rio. Duduk berhadapan dan tidak ada obrolan. Selera makannya sudah hilang karena harus mengantre sangat lama. Belum lagi harus menunggu pesanan mereka dibuat.

QuerenciaWhere stories live. Discover now