38. Sebuah Cahaya

253 18 0
                                    

Ica terburu-buru masuk ke ruang televisi. Melihat Arghi yang tengah menangis dan didekap suaminya. Entah apa yang mereka bicarakan sampai remaja itu menangis tergugu di dekapan suaminya. Ica berjalan menepuk punggung remaja seusia putranya dengan lembut. Menatap suaminya seolah meminta penjelasan atas apa yang barusan terjadi. Ari menggeleng.

Keduanya menenangkan Arghi, meskipun Ica belum tahu alasan remaja itu menangis. Setelah puas mengucurkan air matanya, Arghi melepas pelukan ayah Rio. Dia mengusap wajahnya yang sudah sembab ditambah luka lebam yang masih setia menghias wajahnya. Penampilannya pasti berantakan seperti kemarin malam.

"Sudah, tidak apa-apa. Nanti om bicarakan dengan kedua orang tuamu," ujar Ari. Ucapan itu membuat Ica mendelik. Apa artinya ucapan suaminya? Apa memang Arghi dipukuli kedua orang tuanya sendiri? Jadi, Rio mengatakan sebuah kejujuran?

"Jangan, Om. Arghi cuma pingin cerita aja, jangan bilang mama-papa soal ini," pinta Arghi melarang pria di depannya melakukan mediasi dengan kedua orang tuanya. Akan sangat memalukan kalau sampai orang tua Rio meminta kepada orang tuanya sendiri untuk berhenti menyakitinya. Dia bahkan tidak bisa menebak, apakah orang tuanya mau berhenti atau lebih parah dari ini.

"Terus gimana kalau mereka mukul kamu lagi, hm? Kamu akan diam saja?" tanya Ari tidak paham dengan ketakutan remaja di depannya. Dia tahu Arghi ketakutan, bahkan saat menceritakan semua yang terjadi kedua kaki Arghi terus bergetar.

"Nggak apa-apa, mereka akan makin marah kalau orang lain tahu. Pura-pura nggak tahu ya, Om," pinta Arghi dengan senyum kakunya. Ari mengangguk meski karena terpaksa. Mana mungkin dia bisa pura-pura tidak tahu tentang kebusukan tetangganya. Dia bukan orang kaya yang bisa menuntut mereka dengan mudah tetapi, dia masih memiliki hati nurani untuk menegakkan kebenaran.

"Kalau ada apa-apa, bilang sama om atau sama Rio," pesan Ari tidak muluk-muluk. Kalau memang membantu secara langsung tidak diizinkan, maka bantuan tidak langsung dapat ia lakukan. Seperti menjadi tempat pelarian dan curhat.

"Rio, kemari, Nak!" panggil Ica. Dia baru ingat meninggalkan putranya di dapur. Rio segera datang dengan wajah tertekuk sebal karena harus berdiri lama di dapur sendirian. Melihat wajah Arghi yang tampak sembab, Rio menyimpulkan Arghi menceritakan semuanya.

"Kamu sudah tahu tentang ini, Yo?" tanya Ari pada putranya. Melihat Rio tidak terkejut melihat wajah sembab Arghi, dia tahu bahwa putranya telah menyimpan cerita ini. Rio mengangguk masih dengan mempoutkan bibirnya dan wajah sebal.

Ica tertawa tertahan melihat putranya tengah merajuk. Dia lantas memeluk Rio mengatakan permintaan maaf karena telah menuduh Rio bahkan tak mempercayainya. Arghi yang melihat itu ingin sekali mengejek Rio tetapi, penampilannya sendiri tak kalah baik, bahkan lebih berantakan. Seperti dua bocah yang baru bertengkar lantas dipisahkan oleh kedua orang tua. Begitulah kira-kira gambarannya.

"Aku udah bilang jujur, bunda malah nggak percaya," ucap Rio kesal. Ari yang mendengar itu tertawa gemas. Ah, dia bahkan hampir lupa kalau putra bungsunya ini sudah menginjak usia 16 tahun. Artinya sebentar lagi putranya akan legal dan akan menjadi laki-laki dewasa.

"Iya sayang, maaf ya ..." ungkap Ica menoel-noel pipi Rio. Arghi tertawa melihat itu, seperti anak kecil.

"Nggak usah ketawa, jelek!" geram Rio membuat Arghi mengusap wajahnya dengan lengannya, menghapus bekas air matanya yang sudah mengering. Ari dan Ica tertawa melihat kelakuan dua remaja di depan mereka.

Lantas Ica memutuskan keluar untuk memasak makan siang hari ini. Ketiga laki-laki itu tetap di ruang televisi memilih mebonton televisi bersama. Tidak lama, Rio izin untuk mengerjakkan tugas sekolahnya.

"Nggak mau ngerjain tugas sekalian, Ar?" tanya Rio. Arghi menggeleng.

"Udah selesai," jawab Arghi dengan wajah sombongnya. Padahal tugas seni budaya belum ia selesaikan. Tetapi tugas lain sudah ia kerjakan sepulang sekolah. Dia tidak suka mengerjakan tugas di hari libur. Berbanding terbalik dengan Rio. Itu karena Rio selalu sibuk berangkat ekskul di hari biasa. Akan sangat melelahkan kalau harus mengerjakan tugas di malam harinya.

"Emang tugas seni budaya udah selesai?" tanya Rio tak percaya kalau Arghi sudah tidak lagi memiliki tanggungan tugas, sementara dia memiliki banyak tanggungan hari ini.

"Belum, besok bisa aku kerjain," jawab Arghi santai. Rio berdecak dan memilih keluar. Dia masuk ke kamarnya dan mulai sibuk mengerjakan tugas sekolah. Hal pertama yang ia kerjakan adalah tugas matematika, kimia, dan fisika. Tugas paling sulit harus diutamakan. Setelahnya dia mengerjakan tugas ringan seperti bahasa inggris, bahasa indonesia, pjok. Terkahir tugas seni budaya tidak ia kerjakan. Nanti malam akan ia selesaikan.

"Ayo makan siang!" teriakan sang bunda menjadi alarm untuk Rio. Dia menutup seluruh bukunya dan menaruhnya di meja belajar. Buru-buru keluar kamar dan menuju ruang makan. Ayah dan Arghi sudah ada di sana. Dia yang terakhir datang dan duduk di sebelah bundanya berhadapan dengan Arghi.

Mereka makan siang dengan riang. Arghi banyak membuat obrolan. Rio tak jarang menimpali obrolan Arghi. Suasana makan siang begitu menyenangkan. Sampai tak terasa makanan di meja makan telah kandas.

Bandeng presto yang digoreng Ica telah habis. Bahkan tulang lunak pun tak berbekas di piring. Sayur bayam juga habis di mangkuk. Sambal di cobek habis dikeruk dengan tempe. Tempe terakhir dicomot Rio. Dia menyelesaikan acara makan siang hari ini.

Setelah meminum mereka kembali mengobrol bersama. Ica bolak-balik ke dapur meletakkan cucian piring ke wastafel. Lantas mulai mencuci piring dan peralatan dapur yang tadi digunakan. Sesekali ikut terlinat obrolan para laki-laki di meja makan.

"Om-tante aku pulang dulu ya..." ujar Arghi berpamitan. Dia segera menjadi pusat perhatian.

"Lho kenapa? Ngantuk ya? Tidur aja di kamar Rio," ujar Ica. Dia masih khawatir dengan remaja yang duduk di ruang makan bersama suami dan putranya. Perasaannya sangat waswas memikirkan Arghi. Dia hanya ingin menahan remaja itu lebih lama di rumahnya.

"Enggak, Tante. Mau beresin kamar," ujar Arghi beralasan. Padahal dia mengkhawatirkan adiknya. Adik satu-satunya yang ia miliki mungkin berada di rumah seorang diri. Anak itu sangat penakut, apalagi dengan kegelapan. Seolah hidupnya akan terus berwarna dan tak akan pernah menemukan kegelapan.

"Ya sudah, hati-hati ya..." ujar Ari. Dia tidak berhak menahan Arghi pulang ke rumahnya sendiri. Lantas tatapannya beradu dengan tatapan sang istri yang tampak tak rela kalau Arghi pulang. Tetapi, dengan tenang dia menatap istrinya mencoba mengatakan itu semua bukan lagi hak mereka.

"Iya, Om. Terima kasih om-tante. Yo pulang dulu ya," ujarnya dan berjalan keluar rumah. Dia tidak membawa ponselnya ke rumah Rio. Hanya modal baju yang melekat serta nyawa.

Sampai di rumah, terlihat bagaimana sepinya rumahnya. Berbeda sekali dengan keadaan rumah Rio. Rumahnya yang besar ini sangat dingin dan suram. Membuatnya selalu enggan untuk pulang. Tetapi, karena adiknya dia sadar diri dan akhirnya pulang juga. Meskipun adiknya menyebalkan dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Dia memang sendirian tetapi, adiknya jauh akan merasakan kesepian kalau dia mengabaikannya. Dia ingin memberi sedikit cahaya untuk adiknya. Meski tidak seterang matahari, setidaknya dia sudah mencoba untuk menjadi bintang. Membakar dirinya sendiri untuk sedikit membahagiakan orang lain, adiknya.

 Membakar dirinya sendiri untuk sedikit membahagiakan orang lain, adiknya

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.
QuerenciaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora