43. Kepercayaan

279 27 0
                                    

"Ayo pergi!" ajak Rio kepada Jofan yang manangis di belakangnya. Rio bahkan melangkah pergi keluar kamar mansi tanpa sedikitpun melirik kepada Jofan. Rio hanya tidak mampu melihat betapa kacau seorang Jofan. Ditambah pikiran buruk yang menggiring kepada hal yang tidak pernah bisa ia bayangkan sebelumnya. Pelecehan seksual. Tapi, korbannya seorang laki-laki.

Jofan mengusap wajahnya dan melangkah cepat mengikuti Rio keluar kelas. Dia tidak ingin ditinggal bersama manusia jelmaan setan di kamar mandi. Keduanya tidak berjalan ke kelas melainkan gedung lain yang merupakan gedung ekstrakulikuler. Jofan melangkah ragu mengikuti Rio yang tidak sedikitpun mengajaknya berbicara.

Setibanya  di lapangan indoor, Rio duduk di tribun penonton. Tidak mengatakan apa-apa dan membuat Jofan dengan ragu ikut duduk, dia tidak akan bisa mengatakan apapun pada Rio tentang hal barusan. Dia bahkan sudah tidak lagi memiliki wajah di hadapan Rio. Salahnya yang memilih keluar dan berhadapan dengan Rio dengan penampilan terburuknya.

Semakin Jofan mengingat kejadian beberapa menit lalu, semakin dia merasa sakit. Air matanya menetes kembali dan berusaha ia usap, meskipun itu sia-sia karena air matanya kembali menetes dan memasahi kedua pipinya. Dia mencoba menenangkan diri dan mengulas senyum. Mengatakan dalam hati bahwa dia akan baik-baik saja. Bahwa semua yang terjadi hari ini adalah sebuah masalah yang sama. Masalah yang dulu pernah ia hadapi setiap hari. Mencoba memaklumi kejadian hari ini dengan lapang dada.

Tetapi, hatinya enggan melakukan itu. Dadanya sakit merasa harga dirinya tak pernah ia hargai. Orang-orang terus menginjak harga dirinya tanpa sebab yang jelas, bahkan dengan tujuan yang tak Jofan ketahui. Jofan mengusap wajahnya sekali lagi dan masih mencoba mengulas senyum. Dia menatap Rio yang tetap diam menatap lurus ke depan.

"Mau bolos sekolah, Yo?" tanya Jofan berusaha senormal mungkin. Rio hanya diam tidak menjawab pertanyaan. Jofan menundukkan kepalanya lantas mengulas senyum. Dia tahu setelah ini Rio enggan menatapnya. Pasti Rio merasa jijik dengannya.

"Maaf Yo, udah ngerepotin. Aku traktir kapan-kapan," ujar Jofan. Dia sadar diri, Rio pasti enggan dekat dengannya. Jadi, sebaiknya dia menyingkir segera dari hadapan Rio.

"Mau kemana?" tanya Rio. Dia menoleh menatap Jofan yang sudah bangkit berdiri hendak pergi. Jofan berbalik menatap Rio dengan mata yang berembun. 

"Em, aku tahu kamu nggak mau lihat aku lagi kan? Tenang aja Yo, aku nggak akan deket-deket kamu lagi kok," jelas Jofan dan mengulas senyum. Rio berdecak mendengar itu apalagi saat melihat wajah Jofan yang sehancur itu. Tidak bisakan laki-laki itu tidak menunjukan senyumnya saat seperti ini? Tidakkah perasaan Jofan tengah hancur?

"Duduk! Aku mau ngobrol!" pinta Rio. Jofan terhenyak sejenak mendengar ucapan Rio. Namun, dia segera duduk tidak mau membuat Rio marah. Melihat Arghi dan Alvin yang sering kena amuk Rio membuat Jofan diam-diam bersumpah tidak akan membuat Rio marah kepadanya sehingga dia tidak akan pernah mendapat amukan dari Rio.

"Jadi mereka temen SMP kamu?" tanya Rio penasaran. Suaranya lirih bahkan kesunyian di lapangan indoor tidak membuat suaranya terdengar jelas. Dia masih tidak menyangka orang sebaik Jofan dilecehkan seperti tadi. Entah bagaimana kehidupan Jofan sebelumnya, Rio tidak akan mau membayangkannya.

"Iya, aku aja baru tahu kalau mereka ada di sekolah yang sama denganku. Baru pagi tadi ketemu, ternyata sifat mereka nggak berubah setelah naik tingkat," jelas Jofan. Dia kembali mengulas senyumnya. Rio melirik Jofan.

"Laporin ke wali kelas, yuk!" ajak Rio. Dia sungguh tidak tahan melihat wajah Jofan yang tersenyum namun tampak menyedihkan.

"Jangan, Yo. Mereka sudah punya vidioku yang dulu. Mereka bahkan tahu rumahku, aku nggak mau nyusahin keluarga omku," cegah Jofan. Rio mengembuskan napasnya kasar. Dia tidak bisa mendesak Jofan untuk melaporkan hal ini karena tidak tahu seberapa bahaya teman –ah, maksudnya perundung itu.

QuerenciaWhere stories live. Discover now