45. Cepu

218 20 0
                                    

"Sialan banget si Alvin. Pake acara kentut sembarangan, bikin orang nambah sakit perut aja," protes Gilang saat sang guru telah keluar kelas. Kelas hari ini telah usai. Benar-benar pelajaran terakhir ini sekelas tidak ada yang fokus karena kerusuhan di bangku belakang.

"Arghi tuh yang mulai," tuduh Alvin yang tidak mau disalahkan seorang diri. Dia kentut karena melihat Arghi menahan tawa sampai tubuh gempalnya bergetar, sementara itu, Rio yang juga turut andil dalam menimbulkan keributan hanya tertawa saja.

Rasanya luar biasa sekali. Seperti mendapat combo dalam suatu permainan. Cetar membahana di setiap adegan. Jofan juga hanya mempu tertawa mengingat kembali betapa bobroknya ketiga temannya. Sementara Arghi tengah mencari tissue untuk melap mejanya yang penuh muncratan keripik singkong.

"Awalnya tuh gimana, Ar?" tanya Gilang pada Arghi yang baru masuk membawa lap. Entah mencuri darimana yang pasti itu lap yang masih tampak baru. Dia membersihkan mejanya sampai bersih barulah fokus bercerita.

"Jadi tuh awalnya Rio gelitikin pinggangku. Nggak ada akhlak banget, sukurin kan langsung kena karma!" maki Arghi dan membuat tawa Rio makin keras.

"Nggak, bukan. Kalau ceritanya dari situ nggak nyambung. Jadi, awalnya di bangku belakang ada transaksi gelap. Tuh si Wulan jualan di jam terakhir. Abis itu Arghi beli, dia makan diam-diam. Aku gelitikin eh malah pake acara batuk. Si Alvin juga bangun-bangun malah kentut, aku yang nahan ketawa di dekat pantatnya nggak tahanlah. Akhirnya ngangkat kepala biar duduk tegap, tapi malah kejedot meja."

Seisi kelas kembali tertawa. Mereka akhirnya tahu detail cerita yang terjadi di bangku belakang. Arghi sampai memegang perutnya yang terasa keram terlalu banyak tertawa. Jofan geleng-geleng kepala melihat tingkah absurd Arghi. Hari senin yang suram ini ditutup dengan gelak tawa yang menyenangkan.

"Yo, aku nebeng ya," pinta Arghi yang baru ingat dia pagi ini berangkat bersama Sila. Rio mengangguk dan merapikan buku-bukunya. Tawa di dalam kelas perlahan hilang karena satu per satu mulai meninggalkan kelas.

Rio dan Arghi yang terakhir keluar kelas. Alvin sudah pamit duluan pulang, takut ketinggalan angkot. Jofan sudah pamit turun duluan, jemputannya sudah menunggu. Arghi berjalan mengekor Rio. Sesekali langkahnya menyamai langkah lebar Rio.

Sesampainya di parkiran mereka bertemu dengan Sila. Gadis itu kesulitan mengeluarkan motornya seperti biasa. Dengan gugup Rio membantunya membuat Sila tersenyum dengan senang. Dia mengambil helmnya dan membiarkan Rio menyiapkan motornya.

"Makasih kak," ujar Sila setelah motor miliknya bisa keluar dari parkiran. Rio mengangguk membuat Arghi cekikikan di samping motor Rio. Sila memandang Arghi, "duluan kak," ujar Sila dengan senyuman manisnya. Arghi mengangguk dan berseru berterima kasih atas tumpangannya pagi ini. Sila yang sudah melajukan motornya tidak bisa mendengarnya.

"Cie ... dipanggil kak sama Sila," seloroh Arghi tidak tahu malu. Rio berjalan menghampiri motornya dan mengeluarkannya dari parkiran, lantas segera menaikinya. Dia menggunakan helm dengan benar sementara Arghi tidak menggunakan helm. Bocah badung.

Mereka pulang ke rumah masing-masing. Begitu masuk rumah bunda Ica sudah ribut menanyakan kenapa Rio tidak membiarkan Arghi ke rumah terlebih dulu. Rio hanya berdecak melihat bundanya sekarang jauh lebih mementingkan Arghi daripada dia. Benar-benar seperti anak yang tertukar saja.

"Coba kamu hubungi dia mau makan malam bersama atau tidak, bunda mau masak ayam rica-rica biar porsinya pas buat lima orang," ujar bunda Ica yang mengekori lankah Rio sampai ke depan kamar. Rio menggumam sebagai jawaban dan mengeluarkan buku-bukunya dari ransel sekolahnya.

"Iya bunda, nanti Rio telepon Arghi. Sekarang Rio mau mandi dulu ya, Bunda cantik," jawab Rio, karena saat ia berbalik bundanya menunggu jawabnnya. Benar-benar Arghi ini dimanapun dan kapanpun selalu merusuhi hidupnya. Hidupnya jadi tidak tenang gara-gara bocah gempal itu.

QuerenciaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora