BAB 38

14 5 0
                                    

Kulangkahkan kakiku entah kemana aku tidak tahu, aku berjalan tidak tahu arah bahkan hari semakin petang, sebentar lagi malam akan tiba.

Hingga satu titik aku melihat sebuah jembatan diseberang jalan, aku merasa sudah sangat putus asa.

Ku menatap jembatan yang tidak terlalu besar itu, jembatan dekat sungai yang biasa orang desa lewati begitu juga dengan aku yang dulu sering melewati jembatan ini.

Aku mendekat dan semakin mendekat kearah Jembatan itu, aku berlutut menatap bawah jembatan itu, rasanya begitu lelah memikirkan hidup yang terlalu rumit untuk diriku.

Tatapanku benar-benar kosong, yang aku pikirkan sekarang hanyalah mengakhiri hidupku. Kulangkahkan kakiku semakin mendekat kebawah jembatan itu.

"Jangan....Ratih..."

Sebelum aku mulai menjatuhkan satu kakiku lagi, kumendengar suara seseorang dari arah belakang akan tetapi tidak ada seseorang yang aku lihat, jalanan desa dekat jembatan ini tidak terlalu ramai, karena orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Padahal belum terlalu malam, seluruh tubuhku merasa sangat merinding mendengar suara seorang lelaki, itu yang aku dengar. Tapi aku tidak terlalu memperdulikannya, aku sekarang fokus dengan diriku.

Sekarang yang aku inginkan hanyalah terjatuh dari Jembatan ini, supaya aku tidak merasa sakit lagi, supaya aku tidak mempunyai masalah lagi, dan sekarang yang aku inginkan hanyalah, SELESAI, Tapi......

"Jangan...Ratih, Jangan...."

Aku mengurungkan niatku lagi, aku berbalik badan mendengar seseorang dari arah belakang, aku pandangi setiap sudut jalan, dan kini aku terpaku pada satu titik, aku melihat seseorang Pria yang sudah aku kenal, tapi pandangan mataku tidak terlalu jelas melihat Pria itu, kupandangi dengan betul-betul dan teliti.

Ternyata Pria itu adalah Mas Ardi, aku benar-benar terkejut, aku sedikit takut, tapi masih bisa memberanikan diri dengan mendekati Mas Ardi maksudku Mas Ardi sekarang yang berdiri adalah Rohnya.

"Mas Ardi...." Ucapku lirih.

Aku semakin mendekat kearah Mas Ardi tapi, Mas Ardi semakin menjauh, semakin menjauh dan menghilang.

"Mas...Jangan pergi," Ucapku, aku berusaha menggapai Mas Ardi, tapi sudah menghilang perlahan.

"Mas....!"

Aku merenung sebentar, dengan apa yang Mas Ardi katakan tadi, dia tidak memperbolehkan diriku untuk melakukan hal yang tidak baik itu, apakah aku harus melakukannya atau tidak ?

Tapi sekarang aku benar-benar merasa putus asa, aku merasa kesepian dan hampa.

Aku melangkahkan kakiku perlahan, entah aku akan berjalan kemana lagi. Aku menjauh dari Jembatan tadi, sekarang yang aku pikirkan hanya sebuah tempat untuk berteduh, untukku Tidur malam ini saja.

Langkahku seketika berhenti ketika ada sebuah Mobil hitam menyorotkan lampu Mobil kearahku, dan Mobil itu juga berhenti dihadapanku, kupandangi dengan jelas Mobil siapakah itu, kenapa tiba-tiba berhenti.

Segera kusadari, aku mengenal suara seseorang yang sepertinya memang aku kenal, seorang yang menggemaskan memanggil diriku dengan sebutan Mama berkali-kali, siapa lagi kalau bukan Vanya.

"Mama !" Teriak Vanya dari kaca Mobil.

Terlihatlah Tuan Nick yang keluar dari Mobil hitam itu, diikuti dengan Bu Sevani yang menggendong Vanya, diikuti dengan Ibuku, Nur dan juga Alya, aku sangat terkejut, kenapa mereka bisa ada dalam Mobil yang sama, apakah sekarang aku mimpi ataukah ini memang nyata ?

Tapi bagaimana mungkin dan bisa, aku bertanya-tanya pada hatiku, Bagaimana keluargaku dan keluarga Tuan Nick bisa ada dalam satu Mobil, apakah ada sebuah keajaiban ? Atau....

Ibu langsung memeluk diriku diikuti dengan Nur dan Alya, aku langsung memeluknya dengan erat, sedangkan Tuan Nick dan Bu Sevani tersenyum ketika aku mendapatkan sebuah pelukan dari Ibu, sementara itu Vanya tidak sabar ingin memeluku juga.

"Maafkan Ibu Nak, Ibu terlalu kasar sama kamu, Ratih....." Ucap Ibu, air matanya keluar sembari memeluk diriku, aku jadi ikut menangis ketika Ibu menangis, diikuti dengan Nur yang menangis juga, sedangkan Alya hanya terdiam, mungkin dia belum terlalu tahu apa yang sedang terjadi.

"Tidak Ibu, Ibu tidak perlu meminta Maaf, memang aku yang keterlaluan, wajar saja jika Ibu marah..." Jawabku pada Ibu, sepertinya Ibu seperti benar-benar merasa bersalah, tapi aku segera meyakinkan Ibu bahwa ini semua tidak apa-apa, dan tidak seharusnya Ibu meminta Maaf kepadaku, karena aku yang keterlaluan.

Tuan Nick malahan menatapku tersenyum, kulirik dia dengan malu-malu. Sebenarnya sekarang, aku sangat ingin memeluknya sedari tadi pagi, apakah ini keinginan Ibu hamil ?

Atau ini hanyalah keinginan bayi yang ada didalam perutku ini, yang tiba-tiba ingin dekat dengan Tuan Nick, karena rasa gengsiku lebih menguasai diriku, aku terpaksa menahan memeluk Tuan Nick, dan mana mungkin juga aku berani memeluk dia sementara ada Bu Sevani, ada Ibu dan yang lain, begitu banyak mata yang akan tertuju padaku nanti.

Aku sekarang, fokus dengan apa yang Ibu ucapkan padaku, semuanya terdiam mendengarkan pembicaraanku dengan Ibu, tapi tidak dengan Vanya, dia merengek dan terus merengek karena ingin digendong olehku. Bu Sevani langsung menyerahkan Vanya padaku untuk aku gendong.

"Bagaimana Ibu bisa bertemu dengan keluarga Tuan Nick, Bagaimana itu bisa ?" Tanyaku.

"Kamu tidak usah pikirkan itu Ratih, Tuan Nicklah yang datang ingin mengatakan sesuatu kepadamu, tanyakan saja pada Tuan Nick, benar kan Tuan ?" Ibuku tersenyum berbalik arah menatap Tuan Nick.

Bisa kulihat Tuan Nick sekarang sedang salah tingkah, namun dengan cepat Tuan Nick bisa mengatasi itu. Ibuku sepertinya mengkode sesuatu kepada Tuan Nick untuk mendekat ke arahku, pipiku langsung memerah ketika Tuan Nick menyentuh wajahku dengan berani didepan semua orang yang melihat.

"Em, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu Ratih..." Ucap Tuan Nick, arah matanya tertuju pada Ibuku seolah bercakap-cakap dengan Ibu tapi dalam hati, dan Ibuku langsung mengangguk ketika Tuan Nick menatap Ibuku.

"Apa ?"

"Tapi bukan disini, Ratih...." Ucap Tuan Nick, dengan berani kedua tangan Tuan Nick meraih tanganku dan langsung diciumnya.

Betapa bodohnya aku, aku malah membiarkan Tuan Nick melakukannya, tapi aku juga memang menginginkan itu, sentuhan dan sentuhan dari Tuan Nick, aku juga merasa bingung sekali kenapa bisa seperti itu.

Ibu, Bu Sevani, Nur dan Alya tersenyum kearahku, entah kenapa aku melihat Ibu dan Bu Sevani begitu terlihat akrab sekali. Nur malahan menutup wajahnya yang ikut salah tingkah, berkebalikan dengan Alya yang begitu girang melihat perlakuan Tuan Nick kepadaku.

"Cie...cie...Kak Rat !" Dengan percaya dirinya Alya berkata seperti itu, Nur langsung menyenggol lengan Alya untuk diam.

"Kakak Ini, aku salah apa memangnya ?" Tanya Alya yang begitu polos, karena tidak tahu alasannya, kenapa dirinya dimarahi oleh Nur.

Nur menatap tajam kearah Alya sembari membisikkan sesuatu.

"Tidak sopan, Alya..." Ucap Nur, berbisik sesuatu kepada Alya.

Sementara itu, Vanya tidak bertingkah macam-macam, dia malahan fokus menatap wajahku, sembari sibuk memainkan mainan kesayangannya yaitu Boneka beruang kecil yang imut berwarna Jingga dan juga berwarna Pink.

SRI RATIHWhere stories live. Discover now