"Cih, tumben. Kemarin-kemarin ngeluh gak betah tinggal di Desa."

"Ih, Mas Alga merusak suasana saja deh."

Alga tertawa. Aku kesal, tapi juga lega karena akhirnya aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku harap Alga tak menyalahkan dirinya sendiri meski sekarang dia sedang tertawa, aku tahu Alga tak semudah itu untuk mengiyakan apa yang aku katakan.

Tak lama teh manisku datang dibarengi dengan kehadiran Nenek yang ikut bergabung dengan kami di ruang tengah.

"Ada apa ini? Asyik sekali kalian mengobrol," kata Nenek, duduk di sampingku.

Aku tersenyum. "Biasa Nek. Mas Alga tuh, jail."

"Dih, kok aku?"

Nenek tersenyum lalu menggeleng mendengar pertengkaran kami. "Alga, gimana ternak sapinya? Sudah baik-baik saja?" tanya Nenek.

Dahiku mengerut. "Memang kenapa Nek?"

"Ada wabah, Ra. Untungnya bisa cepat ditangani jadi sapi-sapi itu sudah teratasi keselamatannya. Nenek tenang saja, Alga di sini semuanya aman," jawab Alga.

Nenek mangut-mangut. "Syukurlah. Nenek gak tahu harus bagaimana kalau gak ada kamu di sini."

Aku merengut. "Aku gimana Nek?"

Nenek tersenyum lalu mengelus pipiku. "Tentu saja Cucu Nenek yang cantik ini juga. Nenek bersyukur kalian ada di hidup Nenek."

"Ara juga bersyukur, Nek. Makasih sudah mau mengurus Mas Alga sama Ara di sini. Kalau gak ada Nenek, kami gak tahu bakal pergi ke mana lagi."

"Masih pagi Ra, gak usah drama sedih deh. Mending makan pisang gorengnya nih."

Alga menyuapi mulutku dengan pisang goreng yang dia sodorkan. Membuatku langsung mengembungkan pipiku sebal. Sementara Nenek hanya tertawa melihat tingkah jail Alga yang sampai sekarang masih terus dilakukannya.

Setelah berbincang-bincang cukup lama akhirnya waktu sudah menunjukan siang hari. Alga yang tadi masih berleha-leha di ruang televisi akhirnya memutuskan untuk pergi mengurus perkebunan Nenek. Katanya hari ini ada panen di sana. Aku ingin sekali ikut, tapi malas karena cuaca hari ini cukup panas meski udara di desa jauh dari polusi.

"Bener gak ikut Ra?" tanya Alga sekali lagi.

Aku berdecak. "Gak, panas. Nanti saja deh."

"Nyesel loh. Strawberry di sana besar-besar."

"Antarkan saja ke sini kalau sudah panen."

"Dih, gak mau."

"Kok gitu?"

"Petik sendiri."

"Gak mau."

"Ya sudah berarti gak usah makan."

"Aku bakal minta nanti, Wle."

"Gak akan aku kasih."

"Ih, Mas Alga kok pelit."

"Suka-suka Mas lah."

Pertengkaran kami terus berlanjut sampai Nenek harus turun tangan memisahkannya. Tidak, bukan memisahkan. Lebih tepatnya menarikku yang sedari tadi mencengkeram tangan Alga supaya dia tak pergi dan ikut panen.

Dan yah, Alga pergi sembari tak lupa memasang wajah menyebalkan penuh kemenangan. Sementara aku? Duduk bengong di atas kursi. Menyesal tidak ikut dengan Alga karena di rumah sangat membosankan.

"Duh, mau ngapain? Apa aku samperin Mas Alga saja ke sana ya?" tanyaku kepada diri sendiri.

Tapi aku malas, cuacanya masih sangat panas. Ah, pakai payung saja kan bisa? Tapikan terlihat berlebihan sekali. Nanti warga di sana membicarakan aku lagi. Aku malas jadi pusat perhatian.

Reaching Dream, with Bos!Where stories live. Discover now