36. Membatasi diri

2.7K 591 34
                                    

Update ! Siapa yang nungguin? 🙌🙌

Jangan lupa vote dan komentarnya ygy❤️❤️



Tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Tentang kenapa Willy harus susah payah membawaku ke lantai atas untuk tidur di kamarnya hanya karena takut aku merasa tidak nyaman tidur di Sofa. Memang kenapa? Aku merasa baik-baik saja. Lagi pula sofa itu juga cukup besar untuk tubuh kecilku. Tidak─daripada itu. Bagaimana dengan Aci dan Ilham? Aku tidak bisa membayangkan kalau bertemu lagi dengan mereka nanti. Mereka sudah jelas akan menggoda dan mencurigai hubunganku dengan Willy.

Jujur aku malas. Aku malas mendengar godaan mereka berdua. Apa lagi Aci yang selalu menyecar banyak pertanyaan yang tak bisa aku jawab. Kalau begini aku tidak bisa menghindar karena bukti sudah mereka lihat di depan mata.

"Kenapa cemberut terus?"

Aku baru saja keluar dari toko roti yang sudah tutup. Sengaja tidak langsung turun karena belum siap bertemu dengan Aci dan Ilham. Jadi aku menunggu di lantai atas sampai toko tutup. Willy pun tidak keberatan. Dia malah menyuruhku untuk beristirahat lebih lama di sana.

Aku mendelik kesal ke arah Willy. "Gara-gara Mas Willy."

"Aku?"

Aku berdecak. "Iya lah! Sekarang gimana coba aku ngadepin Aci sama Ilham? Mereka pasti bakal godain aku terus. Aku gak mau ya mereka curiga sama hubunganku dan Mas Willy."

"Kenapa mereka curiga?"

"Menurut Mas Willy kenapa?"

Willy mengedikan bahu seolah tak mengerti. Membuat aku semakin kesal dan gemas ingin menoyor kepalanya yang tak ada otak itu.

"Kenapa juga Mas Willy pakai acara mindahin aku segala. Sudah benar aku tidur di sofa. Gimana coba kalau nanti mereka lihat?" aku masih mengomel. Mengeluarkan semua rasa kesal yang sedang aku rasakan sekarang tanpa peduli kalau Willy adalah Bos ku.

"Mereka lihat kok."

Langkah kakiku langsung berhenti. Dengan secepat kilat aku membalikan tubuhku menatap Willy. "Apa!?"

"Iya. Mereka lihat. Kebetulan waktu aku pindahin kamu dari sofa ke atas. Mereka lagi mau istirahat. Jadi pas sekali aku mau keluar sambil gendong kamu, mereka berdua masuk ke dalam ruangan."

Aku menganga. Rahangku rasanya sudah jatuh ke atas lantai mendengar penjelasan Willy yang amat sangat begitu santai. Pengakuan itu membuat aku semakin gelisah dan ngeri.

"Jadi mereka semua lihat?"

Lagi-lagi Willy mengangguk dengan santainya. "Hm."

Aku mendesis. Rasa kesalku semakin menjadi-jadi. mungkin harusnya aku tak merasakan sesuatu seperti itu. Harusnya aku merasa senang karena Willy begitu perhatian sampai susah payah mau memindahkan aku untuk tidur di atas tempat tidurnya. Itu benar, harusnya aku merasa senang dan malu. Tapi─aku mencoba untuk tak mau merasakan semua itu.

Setelah apa yang sudah terjadi antara aku dan Willy beberapa hari ini. Setelah aku sadar akan dendamku yang salah. Aku mencoba untuk tak mau memikirkan yang sudah terjadi. Aku mencoba mengabaikan setiap bentuk perhatian kecil yang Willy berikan kepadaku. Apa lagi dengan pesan 'Sayang' semalam.

"Loh? Kamu mau pulang sendiri? Gak mau aku antar?" tanya Willy. Terdengar buru-buru.

Aku yang sibuk dengan pikiranku sendiri berjalan lebih dulu meninggalkan Willy yang sedang berteriak di belakang.

"Gak perlu."

Ya, aku tak seharusnya mendapat perhatian ini. Aku harus ingat tentang fakta kalau Willy amat sangat mencintai Chika. Perhatian kecil yang Willy berikan bisa membuat aku salah paham. Isak tangis dan rasa sakit yang aku rasakan di Bali kemarin membuat aku semakin sadar kalau aku sudah keluar dari batas yang seharusnya. Aku tidak mau semuanya berlanjut dan membuat boomerang untuk hatiku.

Reaching Dream, with Bos!Where stories live. Discover now