Aku mendesis. Ya, aku masih ingat dengan jelas semenyebalkan apa Willy saat itu. Sayangnya aku masuk ke sana bukan karena ingin kerja di toko roti miliknya. Melainkan karena membawa dendam besar atas ke pergian Yesi yang siapa sangka malah jadi berakhir seperti ini. apa ini yang namanya karma? Tapikan aku belum menyelesaikan niat jahat itu. Tapi apa benar ini karma? Karena karma tidak semanis ini.

"Kondisi Nenek gimana? Sudah baik?" tanya Willy.

Aku mengangguk. "Kayak yang kamu lihat tadi. Sekarang Nenek sudah sembuh."

"Syukurlah, aku lega dengarnya. Ngomong-ngomong, kamu hanya tinggal berdua saja sama Nenek di sini selain Asisten rumah tangga?"

Aku menggeleng. "Gak kok. Ada sopir juga Mas Alga─" aku mendadak diam. Membelalak saat nama Alga diucapkan. Ya Tuhan, aku lupa akan sosok Kakak pertamaku ini.

"Mas Alga?" ulang Willy.

Aku melirik takut-takut ke arah Willy. Dengan terbata aku bertanya. "Mas─Mas Willy tahu Mas Alga?"

Willy mengangguk. "Tahu, Yesi suka cerita. Tapi gak pernah bertemu secara langsung."

Aku mengerjap. "Ja─jadi, Mas Willy belum tahu Mas Alga kayak gimana?"

Willy mengangguk. Aku diam lagi, kalau mereka tidak pernah bertemu bukannya dengan begitu mereka tidak akan mengenal satu sama lain? Maksudku, Alga pasti tidak akan tahu kan kalau pria yang sedang bertamu ini Willy yang membuatnya marah hari itu atas kepergian adiknya kan?

"Ra, kok bengong?"

Aku mengerjap. Tersenyum kikuk karena tak sadar terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. "Ah, oh maaf."

"Mikirin apa hayo," goda Willy. "Ngomong-ngomong mana Mas mu?"

"Ah, Mas Alga? Dia barusan keluar. Biasa, ada banyak kerjaan yang harus Mas Alga urus di sini."

Willy manggut-manggut. "Ini pertama kalinya aku kemari. Lihat pemandangan di jalan tempat ini kayak yang Yesi bilang, benar-benar asri."

"Mas Willy suka?"

Willy mengangguk. "Tentu saja," balasnya. "Mau antar aku keliling di luar? Aku penasaran tempat-tempat indah di sini."

Aku mendengus. "Kenapa? jangan bilang mau diriin toko roti di sini," tuduhku, bercanda.

Willy mengedikkan bahu. "Ya kalau bisa sih boleh saja."

Aku mendengus mendengar nada sombongnya itu. Masih tak berubah, tapi aku sama sekali tidak membencinya. Cinta itu buta? Tidak kok, faktanya Willy memang tak seburuk itu meski sedikit menyebalkan.

Akhirnya aku dan Willy memutuskan untuk keluar dari rumah. Mencari angin segar dan pemandangan indah di desa. Meski aku masih belum tahu persis tempat-tempat indah di sini karena terlalu malas untuk keluar. Tapi aku tahu beberapa tempat yang pernah aku kunjungi bersama Alga saat bosan di rumah.

Ada kebun teh yang pemandangannya cukup menyegarkan mata. Ada juga sawah-sawah yang indah di lihat dari atas bukit. Aku yakin Willy juga akan sangat menyukainya meski di Bandung juga ada banyak tempat yang cantik dan menyegarkan.

Padahal kami sudah sering jalan berdua. Bahkan berlibur juga sudah. Tapi kenapa sekarang berdiri di samping Willy rasanya sangat canggung? Apa lagi mengingat apa yang sudah terjadi di antara kami. Meski sekarang kesalah pahaman itu sudah selesai dan Willy memintaku menjadi kekasihnya. Sayangnya aku masih agak mencemaskan sesuatu.

"Kenapa diam saja? Gak suka ya ngajak aku keliling?"

Aku dengan cepat menggeleng. "Gak kok, bukan gitu. Cuma─err... itu, kok rasanya agak canggung ya."

"Canggung kenapa hm?"

Aku menggeleng. Aku juga tidak tahu kenapa. tapi aku merasakan sesuatu seperti itu sekarang. Ketika aku sibuk dengan pikiranku sendiri tiba-tiba sesuatu hangat terasa di satu tanganku. Aku menunduk melihat tanganku yang sudah digenggam Willy lalu dengan cepat mendongak menatap pria yang seadang menatapku sambil tersenyum.

"Gak perlu canggung. Sekarang aku punya kamu, apa pun itu, kalau ada yang mengganjal di hati kamu. Kamu cerita saja, oke?"

Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya tersenyum lalu mengangguk. Yah, harusnya aku tak perlu merasa canggung karena kami bahkan pernah lebih dekat dari ini. apa lagi sekarang peranku bukan lagi pasangan sandiwaranya, melainkan sungguhan. Jadi untuk apa merasa sungkan benar?

Daripada itu─aku baru mengingat sesuatu. "Sebentar, aku belum balas chat Zela."

Aku lupa membalas chat Zela yang menanyakan alamat rumah Nenek. Wanita itu akan datang kemari, karena Willy ada di sini aku akan jauh lebih baik kalau Zela dan Kevin juga datang kemari.

"Chat apa?"

Aku menatap Willy sebentar lalu tersenyum licik. "Rahasia."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Reaching Dream, with Bos!Where stories live. Discover now