Part 23: Kilasan Memori

462 91 41
                                    

Masa kini,
Tokyo, Japan.

Seusai pertengkarannya dengan Arthit, Fah tidak mau tinggal diam. Ia akan menemui seseorang yang menyebabkan semua itu terjadi. Ya, Singto. Fah sangat yakin bahwa pria itu adalah akar dari masalah yang menimpanya.

Fah berjalan masuk bangunan perkantoran milik Singto dan menuju ruangannya. Tatapannya menakutkan dan wajahnya penuh dengan amarah, terlihat sangat tidak bersahabat.

Pintu dibuka tanpa permisi, hingga sang empunya ruangan terlonjak kaget. Singto menatap penuh tanya pada seseorang yang mendobarak pintunya dengan sangat kasar. Beruntung hanya ada dirinya, tidak ada klien atau orang lain.

"Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun?" Tanya Singto kesal.

"Orang sepertimu tidak layak mendapatkan kesopanan dariku," jawabnya sengit.

Singto hanya menampilkan senyum miringnya kemudian melanjutkan pekerjaan tanpa memperdulikan kehadiran Fah, menganggap bahwa wanita itu tidak ada. Hal itu menambah kemurkahan Fah padanya.

"KAU!"

Singto menatapnya sekilas, "Aku tidak punya banyak waktu, cepat katakan apa maumu."

"Cuih. Aku juga tidak sudi menemuimu." Fah melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan Singto dan tanpa aba-aba mencengkram kerah kemeja pria itu, "Apa yang katakan pada Arthit?"

Singto menggeretakkan giginya marah, "Apa yang kau lakukan?"

"Apa yang kau katakan pada Arthit, sialan!"

"Kebenaran," ujarnya dengan tatapan tajam.

Fah yang semakin kesal menambah kekuatannya untuk mencengkram kerah baju Singto, hingga membuat pria itu condong ke depan. Wajah mereka begitu dekat, tatapan bengis keduanya saling beradu, tak ada yang mau kalah dalam adu tatapan tajam.

"Apa yang kau katakan pada Arthit?" Tanya Fah lagi dengan penuh penekanan.

"Dia yang mendatangiku dan mengatakan bahwa Nora adalah anakku dengan membawa hasil tes DNA." Singto tersenyum penuh arti.

Perlahan genggaman tangan Fah mengendur, ia terkejut dengan penuturan Singto. Fah tidak menyangka bahwa Arthit akan melakukan hal sejauh itu, ia mengira Arthit tidak akan memperdulikan perkataannya waktu itu karena Arthit terlalu menyayangi Nora. Namun, Fah salah.

Fah kembali mencengkram kerah Singto, "Itu tidak berarti apapun. Kau pasti mengatakan sesuatu yang tidak benar padanya. Bukankah aku sudah mengatakan padamu kalau aku akan mengambil tindakan jika kau macam-macam padaku?"

"Aku tidak pernah mengatakan hal yang tidak benar. Semua yang aku ucapkan adalah fakta, dan aku tidak pernah takut padamu!"

Singto menyingkirkan tangan Fah dari leher dan kembali ke tempat duduknya. Ia tetap mempertahankan tatapan tajam dan raut marah pada wanita itu. Sedangkan Fah, ia masih mempertahankan posisinya.

Fah menghela nafas dan tersenyum jahat, "Baiklah. Aku anggap kau menang kali ini."

"Aku selalu jadi pemenang," balas Singto dengan senyum sombongnya.

"Tapi apa kau yakin dia masih mau mengingatmu setelah semua yang kau lakukan padanya?" Fah kembali menyeringai, "Aku yakin tidak."

Setelah mengatakan itu, Fah bergegas meninggalkan Singto dengan ekspresi yang tidak seangkuh sebelumnya. Fah bisa melihat ada ketakutan dari raut itu. Ia begitu puas melihatnya.

Sebelum keluar dari ruangan, Fah menoleh untuk melihat kembali wajah Singto dan berkata, "Kita lihat saja nanti siapa yang akan menang. Tapi kau harus tau, Arthit tetap menjadi Arthit dan aku tidak akan membiarkanmu merebutnya dariku."

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now