Prolog

1.5K 123 23
                                    

Tokyo, Japan.

Sang surya terangkat perlahan untuk menampakkan kilauan cahaya yang menyilaukan mata, embun membasahi daun yang memberikan aroma yang memanjakan indera dan suara kicauan burung menggema, pertanda bahwa hari baru telah tiba.

Seorang anak laki-laki tengah menenteng tasnya sembari menyusuri lorong panjang untuk sampai ke kelas barunya. Hari ini bukan hari pertamanya masuk sekolah, akan tetapi hari pertamanya pindah di sekolah yang baru.

Bukan tanpa alasan, anak itu terpaksa harus pindah sekolah karena pekerjaan orang tuanya yang mengharuskan mereka pindah negara. Tidak mudah untuk anak seusianya beradaptasi di tempat baru, apalagi ia terkenal sebagai anak yang pendiam dan tak banyak bicara. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain menerima keputusan itu.

Anak laki-laki bermata bulat itu menghela nafas panjang sebelum mengetuk pintu yang berwarna coklat muda di depannya. Seorang wanita membuka pintu dan tersenyum ramah untuk mempersilahkan siswa barunya masuk ke kelas.

"Anak-anak, hari ini kalian memiliki teman belajar baru di kelas ini, dia berasal dari Negara Thailand. Silahkan perkenalkan dirimu," ujar guru itu menggunakan Bahasa Jepang.

"Namaku Leon," ujarnya singkat dengan ekspresi datar.

"Hanya itu?" Tanya guru.

Anak laki-laki bernama Leon itu mengangguk singkat, tak ada lagi yang keluar dari mulutnya selain memberi tau nama. Baginya, memberitahu namanya saja sudah lebih cukup, tidak perlu berkata panjang lebar yang tidak berguna menurutnya.

"Baiklah, sekarang silahkan duduk di bangku yang kosong."

Mata Leon menelisik bangku yang sekiranya bisa ia duduki dan tak berpenghuni. Pandangannya berhenti tepat di salah satu bangku yang berada di ujung kanan nomor dua dari depan. Ia menghampiri meja itu dan mendaratkan bokongnya di kursi kosong.

"Hai. Kau dari Thai, ya? Papa dan mamaku juga orang Thai. Apa kau bisa berbahasa Thai?" Ujar anak perempuan yang duduk di depannya.

Leon hanya melirik tanpa ada niatan untuk menjawab, toh pertanyaan yang di lontarkan anak itu tidak begitu penting baginya. Ia memilih untuk membuka tasnya dan mengeluarkan buku sesuai dengan mata pelajaran hari itu.

Anak perempuan itu mengerucutkan bibirnya saat tak mendapat jawaban dari lawan bicaranya. Beberapa detik kemudian anak itu tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada Leon, "Ohya, namaku Nora. Leonora Rojnapat."

Leon kembali melirik anak perempuan yang memiliki nama hampir sama dengannya, kemudian ia menjatuhkan pandangan ke tangan mungil anak perempuan itu yang terulur untuk menjabatnya.

"Leon," jawabnya tanpa menerima jabatan tangan Nora.

Merasa tak mendapatkan balasan, Nora menarik tangannya yang mengawang di udara. Kesal, tapi ia tahan. Teman barunya itu ternyata tidak seramah yang ia bayangkan. Padahal, mama dan papanya selalu bercerita bahwa orang-orang Thai terkenal dengan keramahannya.

Nora memilih untuk kembali fokus pada pelajaran yang tengah disampaikan oleh gurunya dan tidak lagi mengajak Leon untuk berbicara. Lagipula percuma, ia bertanya pun tidak pernah mendapatkan jawaban yang ia inginkan.

Mengesalkan.

●●●

Jam pulang telah berbunyi, menampakkan beberapa siswa yang keluar dari kelasnya dengan tertib dan menghampiri para orang tua yang sedang menunggu mereka di ruang tunggu khusus. Tak terkecuali Nora, anak perempuan itu langsung berlari ketika melihat sang papa sedang melambaikan tangan padanya.

"Bagaimana harimu di sekolah, tuan putri?" Tanya Arthit dengan membenarkan surai anaknya yang berantakan.

"Baik, papa." Nora tersenyum senang menceritakan kegiatannya selama berada di sekolah, "Tapi ada yang membuatku kesal."

"Apa itu?"

"Ada siswa baru di kelasku, dia pindahan dari Thai."

Arthit mengangkat alisnya, "Benarkah? Lalu apa yang membuatmu kesal?"

"Dia sangat sombong, pa. Dia tidak mau menjawab ketika aku bertanya dan dia mengabaikanku. Sewaktu istirahat, dia juga menolak ajakanku untuk makan bersama." Nora bercerita dengan bibir yang mencebik lucu.

"Jadi tuan putri papa merasa diabaikan? Siapa yang berani mengabaikan anak cantik dan mengemaskan sepertimu, hm?" Ujar Arthit gemas.

"Namanya Leon, Leonard..." Nora mencoba mengingat nama yang tertulis di buku anak laki-laki itu, "Pra..chaya. Ya, namanya Leonard Prachaya, pa."

Arthit terdiam sejenak, seperti ada yang terlintas samar dalam benaknya ketika mendengar nama itu. Tidak asing, tapi juga tidak familiar. Siapa pemilik nama itu?

Leonard. Prachaya.

 Prachaya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Unfinished LoveWhere stories live. Discover now