Part 14: Menjauh

484 95 32
                                    

Sampai di rumah, keduanya disambut dengan wajah khawatir yang berasal dari Fah. Wanita itu menatap anaknya dengan penuh rasa bersalah, ia terlalu sibuk hingga tidak mengetahui Nora sedang sakit.

Sebenarnya bukan hanya sibuk yang menjadi faktor, akan tetapi kemarahannya. Ia tidak ingin membawa amarah saat bertemu dengan Nora, sehingga ia lebih memilih menghindar sejenak. Namun hal itu justru membuatnya tidak mengetahui bahwa anaknya sedang membutuhkannya.

"Nora baik-baik saja? Mana yang sakit? Badan Nora masih panas? Ya Tuhan, maafkan mama, tuan putri."

Fah memberikan rentetan pertanyaan dan tidak memberikan Nora jeda untuk menjawab. Gadis kecil itu hanya diam terpaku serta melihat wajah sang mama yang kembali seperti biasa, tidak semenakutkan tadi malam.

"Nora butuh istirahat," jawab Arthit singkat. Ia kemudian menggandeng tangan Nora untuk membawanya ke kamar.

Tatapan sendu Fah layangkan ketika Nora tak mengatakan apapun padanya. Biasanya anak perempuan itu akan berbicara panjang lebar padanya, tidak peduli sehat atau sakit, mulutnya tak pernah berhenti mengoceh. Namun lihatlah sekarang, bahkan pandangan matanya pun berbeda.

Kakinya melangkah mengikuti Arthit yang menuju kamar Nora. Namun ia hanya diam di pintu tanpa ada niatan untuk masuk. Netranya menatap Arthit yang tengah sibuk membenarkan selimut Nora kemudian mencium keningnya. Setelah itu Arthit beranjak dan mendekati Fah.

"Biarkan dia istirahat."

Fah mengangguk, ia menatap Arthit yang tidak melihat padanya, "Aku ingin berbicara denganmu."

"Baiklah."

Arthit hanya menjawab dengan singkat kemudian melangkahkan kaki ke ruang tengah. Ia mempersilahkan Fah untuk duduk di seberangnya sehingga posisi mereka saling berhadapan.

"Bicaralah," ujar Arthit.

"Kau marah padaku?"

Arthit menatap datar wanita di depannya, "Aku tidak marah untuk diriku, aku marah untuk anakku."

Helaan nafas perlahan keluar dari bilah bibir Fah, "Aku tau, aku sudah keterlaluan dengan Nora padahal anak itu tidak mengetahui apapun. Aku merasa sangat bersalah padanya."

"Sampaikan itu padanya, bukan padaku." Arthit menghela nafasnya kasar, "Kau tau Fah, dia sangat sedih saat kau mengambil barang kesukaannya dan lebih dari itu dia sedih karena kau memperlakukannya dengan kasar."

Sesak mulai terasa memenuhi dada Fah, ia terlihat seperti orang egois yang hanya mementingkan sesakitannya sendiri tanpa memperdulikan luka orang lain, padahal itu adalah anaknya sendiri. Perlahan air mata mulai turun membasahi pipi tirusnya.

"Aku hanya tidak ingin kehilangannya," ujar Fah dengan terisak.

"Nora adalah anakmu, tidak ada orang yang berniat mengambilnya. Lagipula jika ada, Nora pasti akan memilih ibunya."

Tidak. Arthit tidak tau apa yang dirasakan olehnya. Pria manis itu tidak menyadari bahwa seseorang ingin merenggut Nora darinya, dari kehidupannya. Fah juga tidak yakin yang dikatakan oleh Arthit itu masih berlaku atau tidak nantinya.

Sekental apapun air, ia tak akan bisa menyamai kentalnya darah. Darah lebih kental daripada air.

"Aku hanya takut, aku tidak bisa hidup tanpanya, Arthit."

"Aku tau kau sangat menyayanginya, tapi sikapmu yang seperti kemarin akan membuatnya takut, akibatnya dia akan menjauh perlahan-lahan." Arthit menatap lekat pada wanita di hadapannya, "Dia masih kecil, hatinya seperti kaca yang mudah pecah. Ketika dia terluka, dia akan membawanya hingga dewasa."

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now