Part 1: Duka Yang Menyiksa

881 116 16
                                    

Soundtrack chapter🎶
Stevan Pasaribu - Belum siap kehilangan.
__________

7 tahun lalu,
Bangkok, Thailand.

Suara dentuman musik yang memekik telinga, lantai dansa yang penuh riuh, dan bau alkohol yang menyengat memenuhi tempat yang bernuansa hitam dengan sorot lampu berwarna merah menyala. Dari sekian banyak manusia yang berada di sana, terdapat seorang pria yang tengah menenggak minumannya dengan rakus tanpa jeda. Seakan menenggak sebotol air di gunung sahara; terasa sangat melegakan kerongkongannya.

Beberapa kali seseorang yang datang bersamanya menghentikan aksi itu, namun tangannya menepis dan kembali mereguk cairan yang hampir menghilangkan kesadarannya. Rasanya tak pernah cukup hanya dengan satu botol dua botol, ia ingin lebih. Lebih untuk membuatnya tak sadarkan diri.

"Sudah, cukup!" Pria satu lagi menghentikan tangan rekannya yang ingin mengangkat botol kesekian kalinya, "Mau sampai kapan kau seperti ini?"

Pria itu menyingkirkan tangan yang menahannya dan mengabaikan larangan yang terdengar--ia tak mau mendengar. Baginya, minuman pahit yang membakar tenggorokannya itu adalah sahabat terbaik selama beberapa bulan terakhir. Bahkan, kini rasa pahit itu tak terasa berarti akibat terlalu sering mengonsumsi.

"Semua ini salahku," rancaunya. Kepalanya ia sandarkan pada meja bartender dan matanya sedikit terpejam.

Pria satunya menghela nafas berat, tidak sekali duakali ia mendengar ungkapan penyesalan yang keluar dari mulut temannya, bahkan kalimat itu seakan menjadi slogan yang melekat padanya. Ia ingin menanggapi, tapi rasanya percuma. Pria itu tidak akan mau mendengarkan saran darinya.

"Ayo kita pergi!"

Pria sipit itu membopong tubuh temannya dengan susah payah karena berat yang melebihi dirinya. Ia benci situasi ini, dimana hampir setiap malam harus menopang tubuh berat itu di pundaknya. Selalu saja menyusahkan. Jika ia tidak ingat dengan persahabatan mereka, mungkin ia akan meninggalkan pria itu terkapar sendirian di dalam bar.

"Hei, kau mau membawaku kemana?" Rancau pria itu, "Aku tidak ingin pulang."

"Diam atau aku tinggalkankan kau disini, dasar menyusahkan!" Gerutu pria sipit itu.

Off, pria sipit yang kini membawa tubuh temannya yang tidak lain adalah Singto masuk ke mobilnya. Seperti biasa, Off akan membawa Singto ke apartemennya setiap kali dirinya mabuk, karena pria itu akan sangat marah padanya jika diantarkan pulang ke rumah saat kondisi seperti ini.

Sampai di apartemen, Off menjatuhkan tubuh Singto dengan kasar ke tempat tidur. Nafasnya tak beraturan karena bobot Singto yang sangat berat. Off meninggalkan temannya begitu saja, tak peduli dengan apa yang akan di perbuat oleh pria itu. Ia lelah.

"Krist, aku merindukanmu," rancau Singto dalam tidurnya.

●●●

Pria itu berdiri di depan sebuah ranjang bayi yang berwarna putih dengan aksen biru pada penutupnya. Pandangan matanya tak lepas dari manusia kecil yang kini sedang tertidur pulas dengan botol susu yang menempel pada mulutnya. Tangan besar itu membenarkan selimut yang menutupi tubuh anaknya kemudian mengusap pelan surai rambut yang hanya beberapa helai saja itu.

"Hai. Ayah datang," ujarnya pada sang anak.

Singto. Pria yang tak pernah berani menatap anaknya sendiri akibat semua yang telah diperbuatnya. Ia tidak sanggup menatap wajah mungil tanpa dosa yang harus menderita karena keegoisannya. Sikap pengecut dalam dirinya melahirkan banyak kesakitan yang muncul seiring bertambahnya waktu.

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now