Part 28: Deep Talk

424 85 30
                                    

Anak laki-laki itu merubah tangisnya menjadi antusias dan penuh rasa penasaran, setelah Singto mengatakan akan menceritakan tentang Arthit. Meskipun di mulut ia berkata tidak menyukai pria manis itu, akan tetapi di hati ia masih seorang idola.

Leon membenarkan duduknya, kemudian mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi. Ia juga menatap Singto dengan penuh minat akan kelanjutan ceritanya. Ia benar-benar penasaran pada orang yang mampu menyejukkan hatinya, sekaligus orang yang mendidihkan amarah dalam dirinya.

Sebenarnya Singto tidak siap untuk menceritakan hal itu. Namun, jika dipikir lagi, mau sampai kapan ia akan menyembunyikan sebuah fakta. Serapat apapun bangkai, pasti akan tercium baunya. Singto takut kalau Leon akan mendengarkan kebenarannya dari orang lain, bukan dari orang yang paling dipercayainya.

"Leon." Singto mengusap pelan surai hitam legam milik sang anak, "Kalau nanti kau mendengarkan cerita ayah, berjanjilah kau tidak akan membenci ayah."

"Kenapa aku harus benci sama ayah? Ayah, 'kan baik, orang baik tidak pantas untuk dibenci."

Singto hanya tersenyum tipis. Bahkan belum sampai ia memulai topik pembicaraan, pikirannya sudah penuh dengan hal-hal buruk. Ia tidak membayangkan betapa kecewanya anak itu saat mengetahui segalanya. Sungguh, Singto tidak sanggup mematahkan hati anaknya untuk kesekian kali.

"Jika ayah mengatakan kalau kau bukan anak mama, apa kau mempercayainya?"

Leon melebarkan mata bulatnya dan mengangguk, "Percaya. Mama kalau marah selalu mengatakan aku bukan anak mama."

Singto lupa bahwa Nutcha selalu mengatakan hal itu pada Leon. Ia tau benar semua kata kotor yang dilontarkan wanita itu pada anaknya. Ia sempat tidak menyangka Nutcha akan sekejam itu pada anak yang bahkan belum genap 10 tahun.

"Apa kau sedih kalau kau bukan anak mama?"

Leon menggeleng pelan, "Mama selalu mengatakannya, jadi aku tidak sedih lagi."

Maksudnya, Leon terlalu sering mendengar kata penolakan dari Nutcha sehingga hal itu tidak berpengaruh lagi padanya. Awalnya Leon memang sedih mendengar itu, akan tetapi semakin sering mendengar, rasa itu pun berubah menjadi biasa.

Anak mana yang tidak merana saat orang tuanya tidak mau mengakui keberadaannya. Jangankan anak kecil, pria dewasa pun akan sakit hati berada di posisi Leon saat itu. Orang yang dianggap bisa melindunginya dari kejamnya dunia, justru berbalik untuk menghancurkannya.

Beruntung sekali Leon memiliki sosok ayah yang sangat mengerti perannya sebagai orang tua, sehingga ia masih memiliki penopang hidup. Jika saja Singto tidak mau mengambil perannya dan larut dalam kesedihan, maka Leon bisa lebih hancur dari ini.

Singto memang gagal dalam segala hal. Namun, ia tidak pernah gagal menjadi ayah untuk Leon.

"Kau banyak melewati masa sulit, Nak." Singto mengambil kedua tangan Leon dan menggenggamnya, "Setelah ini kau harus bahagia. Ayah akan berusaha untuk membawa semua kembali, semua yang harusnya kau dapat sejak kau ada di dunia ini."

Leon tidak mengerti, anak itu hanya menatap sang ayah dengan tatapan polosnya. Leon pun berkata, "Apa yang kembali?"

Singto tersenyum dan menatap Leon, "Kau ingat paman Krist?"

"Ingat. Pria yang ada di makam," ujar Leon.

"Tadi ayah mengatakan padamu kalau ayah pernah kehilangan orang yang ayah sayangi, 'kan? Orang itu adalah Krist."

Leon hanya diam, tetapi ia fokus menyimak yang diucapkan oleh Singto. Cerita yang sedari tadi membuatnya penasaran, setelah ini ia akan mendapat jawabannya.

Unfinished LoveΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα