Part 26 [2]: Taman Hiburan

395 70 27
                                    

Tak terasa hari mulai petang, beberapa wahana juga sudah mereka coba. Akhirnya mereka putuskan untuk istirahat sebentar sembari mengisi perut, sebelum nanti menyaksikan night parade.

"Kalian senang tidak hari ini?" Tanya Singto.

"Senang," jawab keduanya.

"Lain kali kita berlibur bersama lagi, mau?" Tanya Singto lagi.

"Mauuuu," jawab Nora dengan semangat.

Arthit melihat Leon yang sedang menyantap makanannya, "Leonard tidak mau?"

"Mau, tapi tidak disini. Orangnya banyak, kepalaku pusing."

Arthit mengerti maksud Leon. Anak laki-lakinya itu pasti merasa lelah berada di tengah keramaian terlalu lama. Energinya  sudah terkuras habis, dia butuh waktu untuk memulihkannya. Lain kali, Arthit akan memilih tempat berlibur yang cocok untuk kedua anaknya.

Namun, ada sesuatu yang melegakan hati Arthit, yaitu berkurangnya penolakan dari Leon. Anak itu bahkan tidak mempermasalahkan kehadirannya dan mulai berbicara kembali dengannya, tidak sedingin beberapa waktu lalu. Mungkin benar yang dikatakan oleh Singto; pelan-pelan saja.

Setelah menikmati beberapa makanan, mereka berempat mengambil posisi untuk menyaksikan night parade. Leon dan Nora duduk di depan Singto dan Arthit, diantara kerumunan orang yang memadati jalan.

Satu persatu atraksi mulai menunjukkan kepiawaiannya. Gemerlap lampu mulai terlihat dari kejauhan, sangat indah di pandang mata. Leon dan Nora menyambut dengan antusias dan juga takjub.

"Bagus sekali," ucap Arthit yang sama takjubnya.

"Iya, sangat indah."

Arthit menoleh dan melihat Singto yang sedang memandangnya. Ia mengerti, akan tetapi memilih tak peduli. Setelah itu ia kembali memfokuskan diri untuk meyaksikan parade di depannya. Akan lebih baik kalau ia tidak terlibat dengan Singto terlalu jauh.

"Arthit," panggil Singto.

"Ya," jawab Arthit tanpa menoleh.

"Terima kasih." Singto melihat Arthit yang sedang fokus pada tampilan di depannya dan tak menggubris, sehingga ia mengulang perkataannya lagi, "Terima kasih, Krist."

Panggilan itu cukup membuat Arthit menoleh dan menatap Singto dengan bingung. Ya, dia adalah Krist, akan tetapi ia tidak memiliki ingatan Krist. Apa pantas ia dipanggil dengan nama itu saat ia tak mengingat apapun?

"Semua keinginananku telah terkabul, lagi-lagi kau orangnya. Kau yang memberiku mereka, sekarang kau juga yang mempersatukan mereka. Terima kasih telah memberikan kesempatan untukku dekat dengan twins."

Arthit tersenyum simpul, kemudian mengangguk untuk membalas panjang lebarnya ucapan Singto. Sekali lagi, ia tidak mau terlibat percakapan yang berarti dengan pria itu. Ia hanya ingin membahas tentang perkembangan kedua anaknya, selain itu, Arthit tidak mau tau.

Bukan tanpa alasan, semua itu ia lakukan karena ia merasa aneh dengan dirinya sendiri saat bersama dengan Singto. Ada debaran yang tak ia mengerti, rasanya jauh berbeda dengan yang biasa ia rasakan bersama Fah.

Setiap kali ia memandang mata Singto, ia seakan dipaksa untuk menyelami netra hitam pekat itu semakin dalam. Setiap kali ia berdekatan dengan Singto, ia merasa sesuatu menariknya untuk lebih dekat lagi. Dan, setiap kali ia berbicara dengan Singto, ia menemukan kata nyaman.

"Krist."

Sebuah suara membuyarkan lamunannya, bersamaan dengan tangan dingin yang perlahan menggenggam tangannya. Arthit terkejut, ia berusaha untuk melepaskan, akan tetapi genggaman itu mengerat. Ia mengalihkan semua atensinya pada pemilik tangan.

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now