Part 8: Luka Yang Membekas

573 90 14
                                    

1 tahun yang lalu,
Bangkok, Thailand.

Singto baru saja menginjakkan kaki di rumahnya setelah dua minggu berada di luar kota untuk meninjau anak perusahaan yang omsetnya terus merosot, sehingga mengharuskannya untuk turun tangan. Seharusnya kepulangannya masih dua hari lagi, tapi Singto memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena ia merasa kurang enak badan.

Belum sampai menekan tombol kunci, pintu rumahnya sudah terbuka dari dalam. Singto membelalakkan matanya terkejut saat mendapati pengasuh Leon menggendong tubuh anak laki-lakinya yang tidak sadarkan diri.

"Apa yang terjadi? Leon kenapa?"

Pengasuh itu terkejut melihat Singto, ia hanya bisa menundukkan kepala tanpa berkata apapun. Singto sudah tidak peduli dengan jawabannya, ia langsung mengambil alih tubuh Leon dan membawanya ke rumah sakit.

Muka anak laki-laki itu sangat pucat dan ada beberapa luka lebam di wajahnya. Singto mengernyit heran, luka itu tidak terlihat seperti terjatuh atau terbentur, tapi lebih mirip lebam karena tamparan.

Singto membuka baju Leon, dan betapa terkejutnya pria itu saat mendapati tubuh anaknya penuh dengan luka lebam dan beberapa luka juga mengeluarkan darah.

"Brengsek! Siapa yang melakukan ini pada anakku?" Teriak Singto marah.

Sopir yang mengendarai mobil Singto itu sebenarnya tau apa yang terjadi, tapi ia hanya bisa bungkam. Sopir itu merasa ketakutan untuk menyampaikan apapun pada majikannya.

Singto terus mendekap anak laki-lakinya hingga sampai di rumah sakit. Ia berlari masuk ruang IGD sekecang yang ia bisa dengan menggendong Leon. Setelah itu ia meletakkan tubuh Leon ke brangkar dan membiarkan dokter memeriksanya.

"Apa pasien mengalami kekerasan fisik?" Tanya dokter pada Singto.

"Sepertinya. Saya baru pulang dari luar kota dan mendapati anak saya seperti ini."

Dokter kembali memeriksa Leon, "Denyut jantungnya sangat lemah."

"Lakukan apa saja untuk menyembuhkannya, dok."

Singto sangat khawatir melihat keadaan Leon, rasanya seperti dunia berhenti berputar. Leon adalah satu-satunya yang membuatnya masih berada disini, jika Leon meninggalkannya, Singto tidak akan tau apa yang terjadi pada hidupnya.

Kehilangan Krist dan anak perempuannya sudah membuat hidup Singto berantakan, ia tidak akan mampu lagi menanggung kehilangan untuk kesekian kalinya.

Sembari menunggu Leon untuk ditangani, Singto memanggil semua orang berada di rumahnya. Ia ingin meminta penjelasan tentang kejadian yang menimpa Leon. Tidak terkecuali Nutcha.

Saat semua orang sudah berada di depannya, Singto tanpa basa-basi menanyai mereka satu persatu. Namun, semuanya mengatakan tidak tau. Tangan Singto mengepal kuat karena geram dengan jawaban yang diterima.

"BAGAIMANA KALIAN TIDAK TAU APA YANG TERJADI PADA LEON SAAT KALIAN SEMUA BERADA DI RUMAH?"

Semua pekerja di rumah Singto menunduk takut, tak ada yang berani membuka bibir mereka sedikit pun. Sedangkan Nutcha, wanita itu hanya menatap Singto tanpa kata.

"Kau." Singto mengacungkan jari telunjuknya tepat di wajah Nutcha, "Apa kau juga tidak tau apa yang terjadi pada anakmu sendiri?"

Nutcha memutar bola matanya malas, kemudian menyibakkan tangan Singto dengan kasar, "Dia sudah besar, kau kira aku punya waktu untuk mengikuti kemana saja perginya anak itu? Mungkin dia terjatuh."

"Kau pikir aku bodoh sampai tidak tau luka karena jatuh dengan luka karena dipukuli?"

Nutcha tidak menghiraukan Singto, ia malah menjauh untuk mencari tempat berteduh. Panas-panasan di bawah sinar matahari tidak bagus untuk kulit, ia tidak ingin kulitnya terbakar karena meributkan hal yang tidak penting.

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now