Part 40: Restu

755 76 22
                                    

Cahaya mentari menyorot langsung dari balik jendela kaca yang tidak tertutup tirai. Membangunkan pria yang masih bergumul di dalam selimut. Matanya perlahan terbuka, mencoba untuk menyesuaikan sinar yang menyilaukan retina.

Pandangannya langsung terarah pada ranjang ujung kiri yang kosong. Ia segera mendudukkan diri tanpa mengumpulkan nyawa terlebih dulu. Matanya mencari di setiap sudut ruang, memastikan bahwa yang terjadi semalam bukan mimpi.

Singto merasa seluruh tubuhnya melemas, jantungnya juga berdetak dengan cepat. Ia langsung menyibakkan selimut dan berjalan tergesa keluar dari kamar. Ia cukup yakin bahwa semuanya itu nyata, bukan hanya ilusinya semata.

Langkahnya terhenti begitu sampai di dapur. Ia pun bisa bernafas lega setelah melihat orang yang dicari nampak di depan mata. Singto langsung menghampirinya dan memeluknya dari belakang.

"Aku mencarimu. Aku takut kau hilang," ujar Singto.

Tawa renyah keluar dari mulut Krist. Memangnya ia bisa hilang kemana? Ada-ada saja.

"Aku hanya pergi kemari untuk membuat sarapan."

Singto melebarkan hidungnya untuk mencium aroma masakan Krist yang menggugah selera. Ia tidak tau bahwa pria itu bisa memasak, seingatnya ketika bersama dulu, Krist tidak pernah menunjukkan keahlian itu.

"Sepertinya lezat, aku jadi lapar. Boleh aku memakanmu?"

Candaan itu berhasil membuat Singto mendapat pukulan sayang dari yang digoda. Hal itu juga menciptakan rona merah yang kontras di wajah putih yang lebih muda.

"Maksudku, boleh aku memakan masakanmu?" Koreksi Singto, sembari tertawa.

Krist berdecak kesal, "Pergilah, aku tidak bisa memasak dengan baik kalau kau seperti ini."

Namun, Singto justru mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajah pada ceruk leher prianya. Ia enggan untuk pergi. Butuh waktu sangat lama untuknya bisa melakukan ini, ia tidak mungkin melewatkan kesempatan yang paling dinanti.

"Phi Sing, aku tidak bisa menggoreng kentangnya. Kau membuatku susah bergerak."

Di luar dugaannya, Singto justru mematikan kompor dan mendorongnya ke pojok dapur, kemudian mengungkungnya. Pandangan keduanya saling bertaut, menyelami hazel satu sama lain.

Tangan besar itu perlahan mengusap wajah Krist, mengabsen satu per satu atribut yang ada di wajah idamannya. Mulai dari kedua mata bulat, turun ke hidung mancung hingga berakhir pada bibir tipis yang berwarna merah muda. Pandangannya pun juga mengikuti arah jemari yang berjalan.

"Jadilah milikku, Krist."

Mata Singto beralih menatap lekat pada lawan bicaranya, menunggu untuk mendapat jawaban. Ia sangat berharap ajakannya diterima, mengingat perasannya yang terbalas. Tidak dipungkiri Singto menginginkan Krist untuk menjadi pasangan hidupnya, bukan hanya sekedar membalas cintanya.

"Bisakah kau tanyakan itu lain waktu? Aku tidak bisa menjawabnya untuk sekarang. Masih banyak hal yang harus aku selesaikan sebelum membuka lembaran baru."

Krist menatap Singto penuh khawatir, takut kalau perkataannya melukai hati pria itu. Bukannya ia ingin menolak, hanya saja ia tidak ingin ada yang belum tuntas sebelum menjalin hubungan kembali. Ia harus menyelesaikan urusannya dengan Fah, memberikan pengertian masa transisi kepada Nora dan memperbaiki hubungan dengan Leon. Masih banyak yang harus ia lakukan dan semuanya itu tidak mudah.

Namun, kekhawatiran yang dirasakan Krist bertolak belakang dengan realitanya. Singto malah membalas dengan senyuman manis. Ia menangkup pipi Krist dengan satu tangan dan mengusapnya lembut.

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now