Part 17: Sebuah Kebenaran

556 93 27
                                    

"Ayah pulang."

Suara itu berasal dari pintu rumah yang baru saja terbuka, menampilkan perawakan gagah dan tampan sang ayah. Leon mengulum senyum, akhirnya orang yang sedari tadi ditunggu telah tiba.

Anak laki-laki itu bergegas menghampiri ayahnya dan membawakan tas yang ditenteng olehnya. Singto mengernyit heran, kelakuan sang putra tidak seperti biasa. Bahkan hal itu belum pernah terjadi sebelumnya.

"Leon mau minta sesuatu sama ayah?" Tanya Singto.

Leon menggelengkan kepala pelan, kemudian meletakkan tas Singto di sofa. Ia pun mendudukkan dirinya di bantalan empuk itu dan menyuruh Singto untuk duduk di sampingnya.

Singto tidak menolak, ia mendudukkan tubuhnya di sofa dan melonggarkan dasi yang terasa menjempit leher. Ia menatap anak laki-lakinya dengan penuh tanda tanya karena Leon tidak berhenti tersenyum.

"Kenapa anak ayah ini tidak berhenti tersenyum?"

"Katanya paman Arthit aku tampan kalau tersenyum, paman Arthit suka melihatnya."

Harusnya Singto sudah tau bahwa di balik senyum manis itu pasti ada Arthit yang menjadi alasannya. Singto tidak heran, anaknya benar-benar memiliki kedekatan emosional dengan orang yang melahirkannya itu.

"Hmm paman Arthit, ya? Apa ayah juga harus meminta paman Arthit untuk membuatmu makan sayuran?"

Leon langsung menggeleng cepat dan menutup mulutnya, "Tidak, ayah. Paman Arthit juga tidak suka sayur sama sepertiku."

Gelak tawa terdengar dari mulut Singto. Ia lupa kalau Leon adalah Krist versi mini, sehingga mereka juga memiliki ketidaksukaan yang sama. Terkadang Singto pun heran, bagaimana bisa Leon mewarisi segalanya dari Krist?

"Baiklah, baiklah." Singto meredakan tawanya dan menatap sang anak, "Bagaimana tadi bermain dengan paman Arthit dan Nora, apa kau suka?"

"Aku sangat suka. Nora mengajakku mencoba banyak permainan dan paman Arthit juga membelikanku mainan banyak sekali."

Leon menceritakan satu persatu kegiatan mereka selama di mall secara urut. Ia juga menunjukkan beberapa mainan yang dibelikan oleh Arthit dan mengajak Singto untuk memainkannya bersama.

Dari cerita itu, Singto dapat melihat kerlingan mata bahagia yang terpancar dari mata bulat anaknya. Segala upaya pernah ia lakukan untuk melihat hal indah itu, akan tetapi semuanya gagal. Sekarang, Singto seakan melihat lagi Leon balita yang bahagia ketika ia mendekapnya.

"Boleh ayah memelukmu?"

Leon menatap ayahnya kemudian mengangguk kecil dan tersenyum. Setelah itu tubuhnya langsung direngkuh oleh lelaki yang menjadi kesayangannya. Rasa hangat mulai menjelma menjadi rasa nyaman yang tiada tara.

"Leon. Maafkan ayah yang membuat keadaan menjadi serumit ini, membuat hidupmu menjadi penuh duka, bahkan memaksamu untuk dewasa sebelum waktunya. Kalau nanti kau mengetahui sesuatu yang tidak mudah untuk kau terima, ayah harap kau tidak langsung membenci ayah. Kau harus tau ayah sangat menyayangimu lebih dari apapun, bahkan kalau kau meminta nyawa ayah, ayah akan berikan untukmu. Hari ini ayah sangat bahagia melihatmu tersenyum. Ayah akan berusaha menjaga senyum itu agar tidak hilang lagi."

Leon mendongak karena merasa rambutnya terkena tetesan air berulang kali. Ia terkejut saat mendapati air itu berasal dari mata ayahnya. Ia segera melepas dekapannya dan menatap Singto dengan khawatir.

"Kenapa ayah menangis?"

"Ayah takut, ayah takut sekali kau akan meninggalkan ayah. Kau satu-satunya alasan ayah bertahan sampai sekarang, kau yang membuat ayah kuat menghadapi segalanya. Meskipun saat ini ayah mendapatkan alasan lain, kau masih menjadi yang utama."

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now