Part 33: Dia Bukan Papa

445 73 13
                                    

Suara teriakan itu membangkitkan keduanya dari tempat duduk. Singto langsung berlari menuju Leon yang perlahan membuka matanya. Ia terus memanggil nama anak itu agar Leon tau bahwa Singto ada bersamanya.

"Ayah di sini, Nak. Kau baik-baik saja?" Tanya Singto sembari memegang kepala Leon.

Reaksi awal tubuh Leon adalah menjauh, kemudian meringkuk dan memejamkan mata. Ia tidak sepenuhnya sadar akan kehadiran Singto karena mental block. Dalam pikirannya hanya ada ketakutan dan kilasan balik akan trauma yang dialami.

"Leon. Leon. Ini ayah. Lihat, ini ayah." Singto terus mencoba menyakinkan Leon bahwa ia berada di sampingnya, "Hei, Raja Hutan."

Panggilan itu memberikan kuasa pada kesadarannya untuk berperan. Panggilan yang hanya keluar dari mulut sang ayah. Leon memberanikan diri untuk membuka mata secara perlahan. Pandangannya langsung beradu dengan Singto yang menatapnya khawatir.

"Ayah."

Leon langsung memeluk tubuh Singto dengan sangat erat. Ia menangis dengan kencang untuk meluapkan segala ketakutan yang ia alami. Rasanya sangat lega dapat melihat Singto ada di sampingnya, ia kembali pada zona nyaman yang akan melindungi.

"Aku takut sekali. Aku tidak mau pergi, aku mau bersama ayah. Ayah jangan tinggalkan aku." Rancau Leon dengan menangis tersedu-sedu.

Tangisan itu terdengar pilu. Siapapun yang mendengar pasti akan iba dibuatnya. Seorang anak yang meraung untuk tidak berpisah dengan ayahnya terasa sangat menyayat hati.

"Ayah tidak akan meninggalkanmu. Maafkan ayah, Nak."

Singto pun ikut menangis bersama dengan Leon. Ia benar-benar tidak tega melihat anak kesayangannya itu terluka, bahkan mendengarnya menangis saja membuat hati Singto seperti terpelintir. Sungguh, Leon adalah kelemahan terbesar Singto. Ia bisa melepas segala ego dan keangkuhan hanya untuk Leon.

"Kau akan baik-baik saja, ayah ada di sini bersamamu."

"Mama.. aku tidak bisa bernafas, ayah."

"Tidak. Dengarkan ayah, Leon. Mama tidak ada, dia sudah dihukum sama ayah. Tenanglah, dia tidak akan bisa menyakitimu." Tegas Singto.

Tarik nafas, buang. Tarik nafas, buang. Singto terus mengintruksikan Leon untuk melakukannya agar lebih tenang, sesuai anjuran profesional. Selain itu, Singto juga membisikkan kata-kata positif di telinga Leon agar membuatnya merasa aman.

Setelah dirasa Leon sudah lebih tenang, Singto ingin melepas pelukannya. Namun, Leon tidak mau melepaskan tubuh Singto. Ia takut jika dilepas maka Singto akan pergi darinya. Ia ingin tetap seperti itu, karena saat berada dalam dekapan sang ayah, Leon merasa aman.

"Ayah tidak akan pergi, Nak. Tidak perlu takut."

Singto kembali melepaskan pelukan itu secara perlahan. Bukannya ia tidak mau memeluknya, hanya saja ia tidak suka kalau Leon terus menangis. Ia ingin segera mengakhiri tangisan Leon agar hatinya juga ikut membaik.

Dengan berat hati, Leon melepaskan pelukannya. Namun, belum lama matanya menangkap sosok Krist yang berdiri di belakang Singto. Leon pun kembali memeluk tubuh ayahnya dengan sangat erat, lebih erat daripada sebelumnya.

"Pergi. Aku tidak mau bersamamu, aku mau bersama ayah. Pergi!"

"Leon, tenanglah. Tidak ada yang menyakitimu selama ada ayah."

"Dia bukan papaku, 'kan? Ayah bilang papaku orang yang baik. Dia jahat padaku, dia bukan papa, ayah."

Mendengar itu, Krist melangkahkan kaki untuk mendekati Leon. Sedari tadi ia hanya bisa melihat tanpa mampu berkata. Lidahnya terasa keluh saat mendengar tangisan pengaduan Leon pada Singto. Rasa bersalah mencekiknya, lagi dan lagi.

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now