Part 18: Amarah Yang Membara

541 89 32
                                    

Arthit melepas senyum sembari melambaikan tangan pada penggemar yang setia menunggu kedatangannya. Meski berat untuk tampak baik-baik saja, tapi ia harus tetap profesional. Kehidupan pribadi adalah masalahnya, tidak boleh berpengaruh pada penggemar. Mereka hanya boleh melihat apa yang ditampakkan, tidak perlu tau yang berdarah-darah dalam dirinya.

Arthit mencoba menghilangkan semua beban pikirannya, mengabaikan rasa tidak nyaman yang memenuhi hatinya. Sulit memang, tapi ia berusaha sebisanya, setidaknya sampai acaranya berakhir.

Namun, bangkai memang tidak bisa disembunyikan terlalu lama. Beberapa dari penggemar menyadari bahwa mata Arthit tampak sendu dan senyumnya tak semerakah biasanya. Saat sesi wawancara berlangsung, salah satu penggemarnya menanyakan perihal itu.

"Aku baik-baik saja, hanya kurang tidur karena bermain game," jawab Arthit kemudian tertawa.

Entah percaya atau tidak, Arthit berusaha untuk membuat pernyataan sebaik mungkin. Kemudian ia segera mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan lain.

Usai dengan pekerjaannya, Arthit memutuskan untuk kembali pulang. Nafas panjang ia hembuskan ketika sampai di depan rumah. Tempat yang biasa membuatnya gembira, saat ini berubah menjadi gundah. Apa yang harus ia lakukan ketika bertemu dengan Nora?

Setelah membuka pintu, hal pertama yang ia lihat adalah seseorang yang sedang dihindari. Ya, itu Nora. Gadis kecil itu sedang fokus menonton televisi yang menampilkan papanya sedang bernyanyi.

Arthit menghentikan langkahnya, matanya memandang Nora dengan sendu. Anak perempuan itu terlihat sangat gembira menatap sang papa yang tengah membawakan sebuah lagu, bahkan beberapa kali lantunan senada keluar dari bibir kecilnya.

"Papaaaa!" Teriak Nora saat menyadari kehadiran Arthit.

Sebuah senyum terukir indah kala memandang orang yang baru saja ia lihat di TV ada di depannya. Nora segera berlari menghampiri Arthit yang tak jauh dari tempatnya duduk.

"Papa, papa, lihat! Aku menonton papa di televisi. Papa sangat keren!" Puji Nora dengan semangat.

Arthit tersenyum kecil kemudian berjongkok untuk melihat Nora lebih dekat, "Benarkah?"

"Benar. Papa Nora adalah orang paling keren di dunia ini!"

Hati Arthit semakin sakit, matanya mulai memanas menahan air mata yang akan tumpah. Rasanya ia tidak sanggup menghadapi kenyataan ini, terlalu berat untuknya.

"Terima kasih, tuan putri." Arthit mengadahkan kepalanya agar air matanya tidak menetes, "Sudah malam. Ayo, kita tidur."

"Aku mau tidur sama papa," balasnya sembari menunjukkan puppy eyes.

Sekarang bagaimana Arthit bisa menghindar dari tatapan itu? Bagaimana Arthit bisa bertahan lama dengan rasa sakit yang ingin ia hindari?

"Please," lanjut Nora.

"Baiklah."

Arthit menggendong Nora di punggungnya, seperti yang biasa ia lakukan saat memanjakan akan perempuannya itu. Arthit mencoba untuk menghilangkan semua pikiran buruk yang berada dalam benaknya, biar bagaimana pun Nora tetap menjadi anaknya.

Sesampainya di kamar, Arthit membaringkan Nora dan menyelimuti sebatas leher. Ia menyanyikan lagu sebagai pengantar tidur sang putri sembari mengusap lembut surai gadis kecil itu.

Tak selang beberapa lama, Nora pun terlelap. Arthit merenung dan menatap wajah damai anaknya. Ia ingat benar bagaimana Nora memanggil 'papa' untuk pertama kali ketika ia bangun dari tidur panjangnya. Meskipun waktu itu ia tidak mengingat anak perempuan yang sedang tersenyum manis itu.

Unfinished LoveWhere stories live. Discover now