Part 22: Arthit Rojnapat

636 86 35
                                    

7 tahun yang lalu,
Bangkok, Thailand.

Di dalam ruang operasi dokter sedang berusaha keras untuk mengatasi pendarahan yang terjadi pada Krist. Namun, setiap detik kondisi Krist semakin menurun hingga denyut jantung melemah dan perlahan tidak menunjukkan eksistensinya.

"Dok, denyut jantung pasien berhenti," ujar perawat.

"Cepat siapkan alat pacu jantung," titah dokter.

Percobaan pertama, tidak membuahkan hasil.

Percobaan kedua, juga tidak membuahkan hasil.

Percobaan ketiga, masih tidak ada perubahan.

Dokter menghela nafasnya berat kemudian melihat ke arah jam di dinding, "Waktu kematian pukul 21.45."

Setelah itu semua tenaga medis yang menangani Krist keluar dari ruangan itu satu persatu, meninggalkan jasad yang terbujur kaku seorang diri. Dokter langsung menemui Singto dan Rod untuk menjelaskan kasus yang dialami Krist sehingga merenggut nyawanya.

"Tidak, itu tidak mungkin."

Seketika itu tubuh Singto merosot hingga jatuh ke lantai. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kedua orang yang sangat dicintainya pergi begitu saja. Baru beberapa saat lalu ia merasakan kebahagian menjadi seorang ayah, akan tetapi bahagia itu lenyap begitu saja saat ia kehilangan sumber kehidupan.

Waktu begitu kejam, dalam sekejap mata ia merenggut segalanya. Cintanya, anaknya dan kebahagiannya. Dunia seakan runtuh diatas kepalanya, begitu pula pundaknya menahan beban yang tak kasat mata.

Singto tidak mempercayai semuanya, ia yakin dokter hanya berbohong. Atau mungkin Krist sedang marah padanya sehingga menciptakan skenario ini untuk membalasnya. Namun, jika itu hanya sandiwara, maka ini adalah skenario paling buruk yang pernah dibuat.

"Tidak mungkin Krist meninggalkanku."

Pria itu hampir saja menggapai gagang pintu bila sang ayah tidak menghentikannya. Singto menoleh, memberikan pandangan bingung pada Rod yang menahannya untuk masuk ruang operasi.

"Jika kau melihat jasadnya, maka kau akan lebih menderita," ujar Rod.

"Tidak. Krist belum meninggal, dia tidak akan meninggalkanku dan anak kita." Singto mencoba menyingkirkan Rod dari hadapannya, "Aku ingin melihatnya, pa."

Namun, Rod masih bersikeras menghalangi jalan Singto dan membawa anaknya itu semakin menjauh. Pria paruh baya itu menarik tangan Singto dengan kuat untuk pergi dari sana dan menghentikannya pada ruangan bayi.

"Tidak perlu memikirkan yang telah mati, cukup peduli dengan yang masih bertahan. Lihat, dia berjuang hidup untukmu."

Rasa sedih semakin menghantui Singto saat melihat wajah lemah dan pucat yang terbaring dengan alat yang menopang hidup. Sesak di dada terasa semakin menekan, mencekat nafas yang hendak keluar.

Entah apa yang harus ia katakan pada anaknya kelak tentang Krist dan saudara kembarnya. Singto sama sekali tak memiliki keberanian untuk menceritakan itu. Anaknya pasti akan membencinya karena gagal menyelamatkan dua orang yang sangat berarti.

Saat Singto sedang meratapi kesedihannya, di lain sisi, ada Fah yang menyamar menjadi perawat untuk masuk ke ruang operasi. Wanita itu datang bersama dengan beberapa tenaga medis yang tadi menangangi Krist untuk membawanya pergi.

Dengan cepat mereka mendorong brangkar keluar dari ruang operasi dan memindahkan Krist ke tempat yang tersembunyi di rumah sakit itu. Kemudian dokter memasang kembali alat-alat yang dipasangkan sebelumnya dan memulai untuk mengeluarkan bayi kedua.

Unfinished LoveNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ