38. Pertemanan yang rumit

Start from the beginning
                                    

"Lalu? Mas Willy bilang Deka juga suka sama Chika?"

Willy mengangguk. "Hm. Meski dia gak mengakui itu. Aku tahu Deka juga sebenarnya ada perasaan sama Chika. Tapi dia lebih memilih menjaga perasaan Revan yang lebih dulu bilang mencintai Chika. Mereka bahkan pernah bertengkar hebat karena ini."

"Terus terus?" aku semakin penasaran dengan persahabatan yang rumit itu.

"Kamu penasaran ya?"

"Jelas dong. Ayo lanjutin lagi ceritanya dong."

Willy terkekeh. Masa bodoh dia mau berpikir aku kepo atau apa pun. Aku benar-benar penasaran.

"Revan datang kepadaku dan mengadukan tentang masalah mereka. Lalu aku kasih masukan. Aku bilang cinta itu gak bisa di paksain. Sekali pun dia maksa buat dekat sama Chika. Tapi Chika tetap mencintai Deka. Rasanya itu akan sia-sia."

Aku memicingkan mataku. "Rasanya ceritanya terdengar familier."

Willy tersenyum. "Ya, mirip denganku."

Aku mendesah. "Bisa-bisanya Mas Willy bilang begitu. Padahal Mas Willy juga sama saja."

"Ya mau bagaimana lagi. Dia kan minta masukan. Jadi aku hanya bisa ngomong gitu. Dan syukurlah sekarang Revan sudah menemukan pemilik hatinya. Begitu juga dengan Deka. Sayangnya hubungan Deka dan kekasihnya gak semudah Revan. Karena Chika masih begitu menginginkan Deka."

"Nah, lalu mas Willy bagaimana? Masih bertahan di zona seperti ini?" tanyaku, penasaran.

Willy mengedikkan bahu. "Sebenarnya aku gak terlalu memikirkan perasaanku. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Sekali pun nanti aku punya kekasih. Aku akan sibuk dan malah mengabaikannya."

Aku mendengus. "Omong kosong. Chika saja bilang kalau Mas Willy selalu ada buat dia."

"Itu kebetulan aku sedang luang saja."

"Gak percaya aku."

"Kok gak percaya?"

"Jelas dong. Gak akan ada cowok effortnya besar kayak Mas Willy kalau bukan karena sayang sama wanita itu. Itu lah kenapa Mas Willy selalu ada buat Chika tanpa sadar. Karena Mas Willy begitu cinta sama dia."

Willy tampak berpikir lalu mangut-mangut mendengar ucapanku. "Mungkin ya. Aku gak terlalu memerhatikan itu. hanya di saat dia butuh, kebetulan aku bisa menemaninya."

"Cih."

Omong kosong macam apa itu. kebetulan katanya? Sudah jelas dia memang tidak bisa membiarkan Chika sendirian. Jadi dengan bodohnya selalu menemani wanita itu meski tahu cintanya tak terbalas. Kan, aku jadi kesal lagi kalau ingat itu.

Tapi aku masih gak menyangka kalau pertemanan mereka serumit itu. dan betapa beruntungnya Chika dicintai 3 teman yang dekat dengannya. Walau sayang sekali cintanya tidak berakhir dengan pria yang dicintainya. Memang benar, tidak ada pertemanan yang tulus antara wanita dan pria. Pasti salah satunya jatuh cinta. Seperti kisah cinta mereka yang bersegi-segi itu.

Terlalu sibuk dengan pikiranku sampai-sampai aku baru sadar kalau mobil yang Willy kendarai sudah terparkir.

"Sudah sampai?" tanyaku.

"Hm. Ayo turun."

Aku mengangguk. Membuka seat belt yang melingkar di tubuhku lalu keluar dari mobil di mana pintunya sudah dibuka lebih dulu oleh Willy.

"Gak apa-apa nih kita ke sini? Gak ganggu kencan mereka?"

"Aku sudah kirim pesan tadi. Lagi pula sekali pun mereka kencan juga gak masalah. Kan kita juga kencan berdua," godanya.

Aku mendelik malas. Mencoba menenangkan hatiku kalau itu hanya lelucon yang kebetulan saja keluar dari mulut Willy karena ingin menggodaku. Jadi aku harus mengabaikannya. Ya, jangan di bawa ke hati.

"Gak usah godain aku, gak mempan," desisku, malas.

"Masa? Tapi muka kamu merah tuh."

Aku langsung memegang kedua pipiku. Rasanya panas sekali, padahal cuaca malam ini cukup dingin. "Mana? Salah lihat kali!"

"Serius. Lihat, merah banget."

Willy mendekatkan wajahnya seolah ingin melihat wajahku. Sekarang bahkan wajah pria itu begitu dekat dengan wajahku. Hanya berjarak sejengkal saja.

"Tuhkan, merah."

Wajahku semakin memanas. Dengan cepat tanganku menepuk-nepuk wajah sialan ini. "Apasih. Enggak! Itu merah gara-gara dingin doang kok."

"Masa sih."

"Iya!"

"Cie, malu."

"Apasih! Berisik!"

Willy tertawa. Aku benci sekali setiap kali dia menggodaku seperti ini. Aku juga benci kepada hatiku yang mudah goyah dan terbawa perasaan.

"Sini tangan kamu," katanya.

Satu alisku naik. "Buat apa?"

"Sini."

Aku menurutinya. Mengulurkan satu tanganku dan langsung di genggamnya.

"Biar hangat," lanjut Willy tersenyum manis. "Yasudah ayo kita masuk."

Aku yang masih memproses tingkah Willy yang mendadak ini langsung tersadar. Aku melihat tanganku yang sedang di genggam Willy. kami bahkan sedang tidak berakting sebagai sepasang kekasih di sini. Tapi aku berjalan bergandengan tangan dengannya. Lebih tepatnya─dia yang menggandengku.

Tuhan! Aku gak tahu apa yang sedang Willy pikirkan. Tapi aku mohon untuk terus kuatkan hatiku! Meski ini sama sekali gak berarti apa-apa.

 Tapi aku mohon untuk terus kuatkan hatiku! Meski ini sama sekali gak berarti apa-apa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Reaching Dream, with Bos!Where stories live. Discover now