Zela mendesis. "Bisa gitu ya. Mungkin dia gak nyaman karena suka sama Chika, Ra. Apa lagi pas kamu bilang Chika suka sama teman Willy. Mungkin dia sengaja ajak kamu ke sana biar gak canggung-canggung amat nanti."

"Gak canggung sih. Tapi ngeselin," omelku.

"Sudah-sudah. Daripad itu. gimana misi kamu? Lancar?"

Aku diam, tidak lama aku menghela napas berat. Misi? Aku bahkan sudah tidak ingat soal itu lagi. Aku sudah menyerah dengan Misi sialan itu.

"Sama sekali, enggak. Dan─aku milih buat gak lanjutin misi itu."

Zela menatapku tidak percaya. "Hah? Serius? Aku gak salah dengar kan?"

Aku mendengus. "Aku tahu kamu pasti bakal mencemoohku. Tapi sehari di sana, aku jadi mulai tahu siapa Willy. Setelah tahu bagaimana dia, aku pikir aku gak bisa menyalahkan kematian Yesi karena Willy. Sekali pun Yesi memilih bunuh diri karena di tolak Willy. Faktanya Willy gak salah, karena mau bagaimana pun cinta itu gak bisa di paksakan."

Zela menatapku sedih. "Akhirnya kamus sadar juga Ra. Sebenarnya aku mau bilang gitu. Tapi takut menyinggung perasaan kamu. Tapi sekarang aku senang dengarnya. Jadi sekarang kamu sudah gak dendam lagi sama Willy?"

Aku menggeleng. Melihat respons ku Zela bertepuk tangan bangga. Entah apa yang di banggakannya.

"Jadi setelah ini gimana? Kamu kerja di toko roti itu kan karena Willy. Mau berhenti?"

"Gak lah. Nyari kerja kan susah. lagi pula teman kerjaku di sana baik-baik semua. Kayaknya aku bakal tetap kerja di sana buat cari uang."

"Tujuannya beda nih? Gak buat balas dendam lagi?"

"Menurut mu?"

Zela menyipitkan pandangannya. "Ya ampun. Entah apa yang sudah pria itu lakukan di sana. Dia hebat juga bisa bikin kamu tobat dalam waktu dekat. Padahal sama aku. Kamu sudah aku ceramahin panjang lebar tetap gak mau dengar."

"Bacot."

Zela tertawa keras. Wanita itu tampak puas menertawakan kebodohan yang sempat ingin aku lakukan. Faktanya memang tidak ada yang bisa menghentikan niat dan tujuan aku selain aku tahu sendiri akar permasalahannya. Jangankan Zela, Alga saja aku abaikan permintaannya.

Dering ponsel memecahkan keheningan malam. Membuat aku beranjak malas dari tempat duduk dan mengambil benda persegi itu di dalam kamar.

"Siapa sih tengah malam gini telepon," umpatku. Kesal. Padahal aku ingin istirahat setelah mengantar Alga pulang tadi.

Aku melihat jam dinding yang menunjukan pukul 1 pagi. Dan orang gila mana yang meneleponku di jam seperti ini. Mengambil benda persegi yang terus bergerak-gerak di atas meja dengan dering yang mengganggu. Aku melihat layar. Terduduk bingung di atas tempat tidur melihat nama yang muncul di sana.

"Mas Willy? Mau apa dia telepon malam-malam. Padahal tadi panggilannya sudah aku tolak."

Sepertinya ada sesuatu yang penting sampai pria ini terus meneleponku. Tidak punya pilihan lain, akhirnya aku menerima telepon itu daripada nanti Willy terus menghubungiku.

"Ya Mas?"

"Loh? Kamu belum tidur?"

Aku memutarkan kedua bola mataku malas mendengar pertanyaan aneh itu. kalau dia tahu aku sudah tidur kenapa meneleponku? Bukan harusnya dia sadar kalau panggilannya akan mengganggu?

Aku mendesah. "Aku baru mau tidur."

"Jam segini? Kenapa baru tidur? Gak capek?"

"Capek."

Reaching Dream, with Bos!Where stories live. Discover now