11

1.5K 187 1
                                    

"Lo mau resign?" Inas tampak kaget mendengar berita bahwa Alya ingin melepaskan pekerjaannya demi fokus pada kehamilan pertama ini.

Alya mengangguk lesu. Aku tahu dia sangat mencintai pekerjaannya seperti dia mencintai saudaranya sendiri. Bisa dibilang dia workaholic, sementara aku tidak segitunya.

"Kapan?" tanya Inas lagi.

"Bulan ini kalau bisa, Mas Arda juga sudah ngerongrong gue buat rehat di rumah aja," balas Alya.

Aku menepuk pundaknya. "Nurut sama suami, biar berkah."

"Iya." Alya mengangguk. Kehamilannya menginjak bulan kelima dan dokternya bilang dia tidak boleh kelelahan. Wajar saja kalau suaminya ingin dia istirahat di rumah dan fokus menjaga diri dan bayinya.

"Terus kerjaan lo gimana? Sudah selesai semua?" Inas kembali bertanya setelah menyesap jus jeruknya. Seperti biasa, kami sedang di kantin, menghabiskan jam istirahat di sini.

Alya menatapku, tersenyum cukup lebar. "Ada Zoya. Dia bisa handle tugas gue."

Aku menepuk kening, pura-pura pingsan di meja kantin. Kudengar Inas tertawa kencang dan Alya berbisik entah apa.

"Serius?" Inas mencolek tanganku di meja. "Heh, bangun!" sentaknya.

Dengan malas-malasan aku menarik diri dari meja, duduk dengan tegak. "Apa?"

"Lo lagi deket sama sepupunya Alya?"

Kutatap Alya dengan cepat. "Lo ember deh, Sis! Ini kan rahasia kita berdua," omelku pada Alya yang sedang terkikik geli. Lalu kutatap Inas kembali, "cuma teman, nggak lebih!"

"Iya. Tapi tetap dekat, kan? Sudah ngapain aja?" cecar Inas.

"Bawel deh lo!" ucapku ketus. Kulirik Alya dan memelotot padanya, dia menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya, meminta maaf.

"Ngapain aja, Joy..." Inas terus bertanya, penasaran sekali sepertinya. Dia sampai menarik kemeja putihku hingga tali di bahuku hampir lepas. "Ups, sori!" dia menutup mulutnya karena kaget.

"Untung nggak ada cowok, dikira mau gatel nih!" aku membenarkan tali kemejaku. "Gue nggak ada apa-apa, Nas, sama Demas itu. Serius!"

"Kok jadi Demas sih?" Inas terlihat bingung, menatapku dan Alya bolak-balik.

"Nama dia itu Demas Adiatra Slamet, gue panggil dia Slamet dari kecil." Jelas Alya, menyengir. "Orangnya cakep kok. Joy aja demen," tambahnya lagi.

Aku terpaksa harus mencubit si ibu hamil satu ini, mulutnya nggak bisa direm.



---



Kakiku akhirnya kembali menapaki lantai rumah Demas lagi setelah hampir dua pekan tidak kemari. Seperti biasa, aku mengucapkan salam saat masuk dan selalu melihat Adam di balik mejanya yang penuh perintilan alat bengkelnya.

Dia menatapku setelah menjawab salam. "Langsung ke atas aja, Joy. Demas lagi keluar sebentar."

Aku berjalan mendekat. "Kemana kalau boleh tahu?"

"Minimarket depan kayaknya."

"Jalan kaki?" tanyaku memastikan, soalnya motornya masih ada di depan, terparkir dengan gagah seperti orangnya.

"Iya, kan dekat." Adam sudah fokus pada pekerjaannya lagi, aku tak mau ganggu dan segera naik ke atas.

Dari arah pintu tercium aroma tidak sedap, tapi bukan aroma tembakau bakar. Ini seperti bau asap dari benda lain. Jangan-jangan kebakaran? Aku meletakkan tas di meja dan mencari sumber bau tak sedap ini, berjalan ke arah balkon yang pintunya terbuka lebar. Aroma asap berasal dari sini rupanya, di dekat kakiku ada bekas api di kotak alumunium yang agak berkarat. Bukan sembarang sampah, sepertinya sebuah kenangan di masa lalu.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now