17

1.4K 185 6
                                    


Walau hatiku masih nyungsep dan belum terselamatkan, hari ini aku tetap berangkat ngantor demi loyalitas pada perusahaan yang sudah menggajiku plus memberikan aku banyak ilmu dan pengalaman, hal-hal yang tidak bisa aku dapatkan sewaktu kuliah dulu. Selain itu, aku juga selalu berusaha profesional pada semua hal, termasuk hidup sebagai anak.

Aku tidak menunjukkan wajah sedih, kacau, dan nelangsaku di meja makan. Papa dan Mama tidak boleh tahu kejadian malam Minggu-ku di tempat Demas. Pokoknya mereka hanya boleh menatapku sebagai Zoya yang selalu senang, ceria, dan cantik sepanjang musim.

Kemarin sepulang dari Tebet, aku buru-buru masuk kamar agar tidak ada yang tahu bahwa Zoya menangis karena patah hati. Saat itu aku benar-benar hancur, seperti pecah menjadi kepingan tidak berharga dan tidak bisa diselamatkan lagi.

Aku menangis semalaman sampai air mataku habis, sampai benar-benar tak ada air mata yang keluar lagi, mataku perih luar biasa. Di Minggu pagi tubuhku terasa lesu, tidak enak badan, mual karena banyak pikiran dan pengaruh asam lambung. Di Minggu siang aku baru bisa tidur setelah makan dan minum obat, aku benar-benar tepar dan terlelap sampai pukul sembilan malam.

Semua orang heran mengapa aku mengurung diri di kamar. Kujawab, aku lelah dan butuh istirahat penuh di hari libur. Syukurlah semua orang percaya, termasuk Mama yang mendapatiku sembap. Semalam aku dan Mama bertatap muka di dapur ini, sama-sama mau mengambil minum.

"Kamu banyak tidur, sampai bengkak gitu matanya." Ujar Mama. Tentu saja Mama tidak akan menduga kalau anaknya baru saja mempermalukan diri sendiri di depan seorang lelaki.

Aku tak menjawab saat Mama bilang begitu. Lebih baik diam agar kebohongan tak semakin dicurigai.

"He-em!" deheman Papa membuyarkan lamunanku semalam. Papa mengusap mulutnya dengan celemek khusus, meneguk air putihnya sampai habis.

"Papa berangkat sekarang?" Mama sudah berdiri untuk mengantar Papa ke luar rumah.

Papa mengangkat tangan kanannya, menyuruh Mama duduk kembali. "Belum, mau ngobrol sama anak gadis."

"Aku?" aku menunjuk diriku sendiri dengan sendok.

Papa sempat tersenyum hangat. "Masa Mbok sih?" candanya.

Mbok Mi yang sedang rapi-rapi terkekeh mendengarnya.

Aku melirik sebentar ke arah ART paling lama di rumah ini, sebelum akhirnya kembali menatap wajah teduh Papa. "Kenapa?"

Papa menyatukan kedua tangannya, sikunya menyangga di atas meja, lalu menatapku awas. "Kamu nggak bisa resign saja dan bantu Papa di percetakan?"

"Bantu apa?" tanyaku dengan kening berkerut. Ini bukan pertama kali Papa mengatakan itu, tapi sering. Kantor percetakan Papa termasuk kelas menengah yang punya lebih dari tiga puluh karyawan tetap, tapi aku tidak minat datang ke sana, apalagi mengurusnya. Makasih.

"Kerja dong." Sahut Papa enteng.

"Bagian apa?"

"Keuangan kan bisa. Semua bisa dipelajari kalau kamu mau, nggak harus sesuai jurusan kamu."

"Aku nggak suka." Balasku seraya meletakkan sendok ke piring, lalu meraih gelasku.

"Siapa yang mau gantiin Papa di percetakan kalau Papa sudah nggak bisa kerja?"

"Rekrut orang aja yang kompeten, jujur, bisa dipercaya, dan diandalkan. Yang sesuai kualifikasi perusahaan pokoknya." Jawabku lugas.

"Zoya nggak mau, Pa." Mama ikut-ikutan bicara. Mama yang paling tahu mauku, apa yang aku suka dan tidak suka.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now