32

1.7K 232 30
                                    

Kantin ini cukup berisik, suara peralatan makan yang saling beradu dan mulut sibuk bicara terdengar dari sisi kanan-kiri, depan-belakang. Di mejaku saja Inas tidak berhenti bicara tentang kabar terbaru di ITA.

"Anak direksi yang nikah, masa nggak datang? Nggak mau setor muka lo?" dia mengajakku kondangan ke salah satu anak petinggi ITA. Padahal weekend ini Papa-Mama berniat mengajakku ke Lembang untuk menjenguk Oma.

Aku sedang galau berat, antara mau ke Oma yang sudah lama tidak kutemui atau ke kondangan anak bos di perusahaan tempatku digaji. "Kayak dia paham gue aja, kayaknya dia cuma paham jajaran atas sampai manager doang," sahutku asal. "Gue nitip lo aja ya, Nas?"

Inas mengambil udang krispi dari piringku. "Siapa tahu paham. Datang aja, lumayan cari koneksi baru."

"Siapa tahu malah dapat gebetan keren gitu ya?" sambutku dengan cengiran lebar. Kudorong piringku pada Inas, "habisin aja udangnya, gue kenyang."

Inas melihatku dengan mata menyipit. "Lo makannya dikit banget sekarang? Jangan diet ektrim lo, nanti sakit bisa masuk RS!"

"Asal kalau ngomong. Gue beneran kenyang karena brunch jam sepuluh, habis meeting Mas Damar ngajakin gue keluar buat cari angin segar dan ujung-ujungnya brainstroming."

Inas mengangguk paham. "Bahas apa?"

"Bahas beberapa requirement yang klien minta, ada perubahan fitur lagi."

"Again?" mata Inas terbeliak.

Aku mengangguk tanpa daya. Tugas kami menyelesaikan masalah orang dan juga siap meladeni permintaan mereka di saat project sedang dibuat. Demi mereka puas dan aplikasi benar-benar sesuai harapan mereka.

"Jadi timeline-nya gimana?"

"Ajeg. Nggak berubah. Tapi nanti kalau masih ada perubahan dan kayaknya bakal lebih banyak nih maunya, kita ambil jalan tengah, selesaikan yang ini dan lanjut di kontrak kerja baru."

"Iya dong. Enak aja. Timeline mepet, mana keburu ngejar banyak perubahan?" Inas menusuk udang dengan garpunya, mengunyah dengan cepat. "Kayaknya ada yang bakal ngajakin lo hadir ke nikahan anaknya Pak Roni." Ujar Inas dengan cengiran menggoda, dia mengedikkan dagunya ke balik punggungku.

"Siapa?" tanyaku seraya menoleh ke belakang. Ehm. Tampangku langsung kecut begitu melihat siapa yang muncul. Kampreeet...

Rio menarik kursi di sebelahku tanpa permisi, duduk menyerong. "Sabtu nanti bareng ya?" ucapnya sesuai prediksi Inas.

"Kemana?" aku pura-pura bego dulu.

"Kondangan."

Kuangkat tangan kanan. "Nggak. Gue mau ke Lembang, nengokin Oma."

"Lo nggak bisa beneran?" Inas kembali bertanya, dia benar-benar ingin aku datang ke acara sakral anaknya direktur. "Lo nggak bisa bujuk ortu lo buat pekan depan aja ke Lembangnya?"

Aku mengembuskan napas berat. Papa sih bisa terima, kalau Mama kan anaknya Oma, Mama pasti sudah rindu. Tapi ... siapa tahu bisa. "Gue coba deh, nanti gue kabarin," kataku pada Inas.

"Jadi bareng nih?" Rio terdengar asyik sendiri.

Aku memberikan tatapan galak. "Enggak, Rio. Jangan maksa deh!" sentakku. Membuat Inas menahan tawanya.

"Galak banget." Komentar Rio, tapi dia masih bisa tersenyum.

"Habisnya lo bikin kesel gue aja."

"Lagi dapet ya, kok sewot gitu?" tebaknya asal.

Masih belum nyadar juga nih orang. "Gue kesel sama lo, bukan masalah mens atau enggak mens!"

"Kenapa nggak mau bareng? Lo jalan sendiri, gue juga sendiri. Lebih hemat BBM, kan?"

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now