21

1.5K 183 5
                                    


Mama mengira aku sudah tidak tertarik pada Demas lagi, padahal sebenarnya hatiku masih sakit dan perlu obat. Sampai detik ini aku tidak menjelaskan apa-apa tentang hubungan terakhirku dengan Demas, kubiarkan Mama berspekulasi sesuka hatinya.

Di kitchen island ini aku menemani Mama mengupas mangga yang dibelinya dari supermarket. "Kamu sibuk apa kalau weekend, Joy?" Mama suka sekali mengetahui apa yang aku lakukan di dalam kamar selama dua hari ini. Aku memang mengurung diri di kamar dan tidak keluar kecuali untuk makan bersama orangtuaku, aku suka sekali makan bersama mereka, rasanya hangat dan tenteram.

"Makan, tidur, nonton. Kenapa sih?" sahutku setelah menelan kripik ubi. Di meja makan ada empat stoples makanan ringan yang sudah kuambil dari kabinet makanan, aku sedang ingin mengunyah.

Mama meletakkan pisau di meja. "Mama mau ngajak kamu jalan nanti siang. Nggak ada acara, kan?" tebaknya.

"Kemana?"

"Resto hotel milik teman Mama."

Ekor mataku mengamati Mama yang membawa buah-buahan segar ke wastafel untuk dicuci. "Arisan ibu-ibu? Enggak ah!" tolakku langsung.

Mama menoleh dengan cepat. "Bukan. Mama mau ngenalin kamu sama anaknya teman Mama itu lho, anaknya baru balik dari Penang seminggu lalu."

"Ngapain di Penang?" tanyaku sebelum memasukkan pilus ke mulut.

"Jadi dokter dia. Masa depannya bagus, secerah wajah kamu," Mama tersenyum saat menatap wajahku, bola matanya menyala terang seperti lampu 10 watt.

"Serius? Mama mau jodohin aku ya?"

"Kenalan aja, siapa tahu cocok." Mama membawa wadah bersih untuk tempat potongan mangga. "Jodoh itu bisa datang dari mana aja, tiap ada kesempatan jangan dilewatkan. Mama nggak buru-buru minta kamu nikah, tapi kenalan kan nggak salah. Mau, kan?"

"Ogah!"

Seketika Mama memelotot, aku paling malas kalau Mama sudah merongrong begini. "Jangan sembarangan nolak laki-laki kalau kamu belum kenal siapa dia, nanti jodoh kamu seret lho, Joy."

"Ma..." aku mendesah pelan.

Bagiku, perjodohan adalah opsi terakhir kalau sudah mentok banget!

"Papa juga ada kenalan, anaknya baik, sehat, masa depan cerah dan kayaknya rajin ibadah. Mau ya kenalan dulu?" Mama menawarkan cowok lain yang entah bagaimana rupanya.

Aku menutup semua stoples di meja, mengembalikannya ke tempat semula. "Jangan maksa, Mama."

"Ketemu aja dulu. Mau ya?" bujuk Mama lagi.

"Ma..."

Mama mengawasiku lekat-lekat, memohon. "Mama sudah telanjur bikin janji sama teman Mama. Enggak enak kalau nggak bawa kamu. Mama malu nanti."

Aku menghempaskan tubuhku ke kursi. "Mama cari alasan dong. Aku sakit kek..."

"Kalau sakit beneran gimana? Mending kalau cuma meriang atau panas dingin biasa, kalau tiba-tiba kamu kanker gimana, Joy?" ucap Mama serius.

Aku mendelik menatap wajah nyonya rumah yang ayu. "Mama, itu nggak mungkin!" kutepuk kening yang menghangat. Sudahlah, menyerah saja. "Oke, sebentar aja kan?" putusku dengan terpaksa.

"Iya, iya." Mama mengangguk senang. "Jam setengah empat kita jalan ya? Disopirin Pak Maja aja, kamu jangan nyetir sendiri."

"Terserah, Mama. Aku mau tidur lagi di kamar."

"Joy, buahnya!" Mama meneriakiku saat kakiku sampai di ruang tengah. "Katanya mau kulit tetap sehat dan terawat? Buahnya sudah Mama kupasin lho..."

Terpaksa aku kembali ke meja makan dan menghabiskan satu mangkuk buah-buahan segar. Mama benar-benar membuatku terawat jasmani dan rohani.

ENCHANTED | EndHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin