30

1.7K 216 15
                                    


Untuk tahu perkembangan Demas- Zoya di kantor, interaksi apa saja yang terjadi, baca bab di Karyakarsa ya!





Harusnya aku sudah di rumah, tapi Rio menahanku di pantri. Kami ngobrol cukup lama, membahas project GL yang kami kerjakan bersama sampai membahas dunia malam yang mengerikan. Rio terang-terangan bilang kalau dia sudah tidak perjaka lagi. Sinting, kan?!

Dari tampangnya saja sudah kelihatan nakal, terus kenapa dia ngomongin itu sama aku? Sejujur itu, maksudnya apa coba?

Aku mendadak kesal sendiri ketika dia membahas masalah keperjakaannya yang sudah direnggut oleh cinta pertamanya di masa kuliah. Dia kehilangan itu saat ikut party di puncak. Konyolnya, dia mengaku dia yang dijebak oleh teman ceweknya saat ikut mabuk.

Gggrrrrr!

Untung Papa agak konservatif, tidak pernah mengizinkan aku seliar itu. Di masa kuliah yang namanya ngumpet-ngumpet dari orangtua buat nongkrong di luar itu sering, tapi Papa selalu meneleponku kalau aku belum kelihatan juga ketika jam menunjukkan pukul sembilan malam.

Setelah kerja seperti ini, Papa tidak terlalu mengekangku lagi, paling hanya sekadar mengingatkan bahwa anaknya harus jaga diri dari lelaki hidung belang, tukang merayu, serta para predator yang selalu melancarkan aksinya dengan beribu macam cara.

Di banding dua sahabatku, Alya dan Inas, aku memang sedikit nakal karena pernah masuk ke dunia malam. Tapi di banding teman-temanku yang lain, yang berada di luar sana, aku masih anak baik-baik karena selalu ingat rumah dan wajah Papa ketika ditawari wine dan sejenisnya.

Aku memang bukan orang suci, banyak dosa yang sengaja dan tidak sengaja kuperbuat. Tapi, aku tidak akan membiarkan jati diriku direnggut oleh gemerlap dunia. Itulah mengapa aku dan Rio tidak cocok, kami beda pandangan dan urusan kehidupan lainnya. Bagiku hiburan di kala penat bukan kelab malam dan lompat-lompat di Senopati, tapi rumahku, semua ada di sana.

Pukul setengah sembilan lewat sedikit, akhirnya aku menapaki lantai parkir yang sunyi. Dan akhirnya telingaku bebas dari cerita kenalakan Rio lainnya yang membuat aku menahan sesak. Seandainya orangtuanya tahu, apakah tidak akan jantungan? Atau malah membiarkan anaknya seliar itu? Aku tidak tahu pendidikan seperti apa yang orangtua Rio ajarkan. Atau mungkin bukan salah orangtua kita yang terlalu baik atau terlalu keras dalam mengasuh kita, tapi salah kita sendiri yang tidak bisa memilih kehidupan yang baik, sehat, dan bersih.

Ck! Aku melihat ada sesuatu yang aneh pada mobilku, aku berjongkok di dekat ban belakang untuk memastikan sesuatu.

Ban mobilku ternyata kempes! Aku langsung menelepon bengkel langgananku, orang-orangnya tidak bisa datang karena baru saja tutup. Aku menelepon Mang Maja, sopir rumah, dia biasa membantu dalam masalah seperti ini, tapi teleponku tidak diangkat. Kusandarkan punggung ke pintu mobil, berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk kembali ke lobi saja. Lebih baik pulang dengan taksi, urusan mobil kutunda dulu karena sudah malam.

Kakiku hendak melangkah setelah balik badan, namun seseorag mencegatku dan membuatku kaget bukan main. "Lo?!" nyaris saja aku menjerit. Tanganku turun dari dada, jantungku masih berdebar kencang.

"Apa penampakan gue nyeremin?" ujarnya datar. Dia tidak merasa bersalah sama sekali karena sudah membuatku sekaget ini, bagaimana kalau aku jantungan dan mati di sini?

Aku menggeleng ragu. "No. Ini cuma sepi aja, gue kira ... yah, begitulah." Aku tak melanjutkan kalimatku, lalu menatapnya dari atas sampai bawah, dia terlihat sedikit kacau.

Demas menyelipkan tangan kanannya ke saku celana, terlihat santai dan tidak seperti biasanya. "Mau kemana?"

"Pulang." Balasku seraya menunjuk arah tangga turun.

ENCHANTED | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang