03

2.5K 247 7
                                    

Kususul dua sahabatku di kantin ini, mereka tampak berbincang serius, aku masih bisa mendengar obrolannya dari jarak empat meter.

"Ih, ogah. Dengar namanya aja gue nggak kesengsem. Namanya jadul banget sih sodara lo, Al." Ujar Inas.

"Ih, lihat orangnya dulu. Dia lumayan tahu, shalatnya rajin sama kayak lo. Udah mapan deh pokoknya." Kata Alya.

Aku sampai di meja mereka dan duduk di sebelah Alya. "Apa sih? Ribut amat dari tadi!" tanyaku seraya menyiku lengannya yang mulus. Alya tipe gadis cantik, rambut hitam lurus, dan modis. Tapi dia masih lebih sopan dariku, mulutnya masih bisa dikontrol dengan baik.

"Eh, lo dari mana sih, lama banget?" tanyanya.

"Dari toilet. Biasa, ganti pembalut." Jelasku, lalu menatap Inas. "Sudah lo kirim ke adik lo?"

Inas mengangguk. "Sudah, tadi pagi gue pos-in aja sama buku yang dia minta."

"Apa?" Alya ingin tahu.

"Bajunya si Joy. Masih bagus buat adik gue, dia maulah, ada mereknya. Zara gitu." Jelas Inas.

"Oh."

Aku menguncir rambutku karena merasa gerah. "Tadi kalian bahas apa?"

Tangan Alya menunjuk Inas di seberangnya. "Ini, gue mau ngenalin sepupu gue sama Inas. Tapi dia nggak mau."

"Kenapa?"

Inas menggeleng tak suka. "Males, ah. Masa namanya Slamet."

"Jangan nge-judge dulu, Sis! Siapa tahu orangnya keren!" ucapku berpositive thinking. "Nama nggak selalu merepresentasikan tampang sebenarnya," imbuhku.

Alya setuju dan mengangguk. "Kalian harusnya lihat Slamet sih di nikahan gue. Nggak ketemu ya?"

Aku menggeleng. "Kalau nggak dikenalin langsung mana nyadar itu si Slamet. Lagian lo baru bilang punya sepupu namanya unik gini." Paparku sambil meminta minuman Inas, es teh manis favorit kantin ini, selain murah, rasa dan kualitasnya tidak pernah berubah. "Tenang, Al. Kalau Inas nggak mau, Slametnya lo kenalin aja ke gue," ucapku sambil mengembalikan gelas Inas.

Alya tersenyum lembut, mengusap lenganku. "Dia tipenya yang lembut, lemah gemulai kayak Inas, bukan berang kayak lo."

Aku memelotot seketika. "Resek. Dia kan belum kenal gue. Gue juga bisa kok lemah gemulai kalau di ranjang."

"Kampret!" Alya spontan memakiku. Dia pasti teringat malam pertamanya dengan Mas Arda. Hadeuh.

"Joy, lo aneh deh. Lo bisa nyari cowok di mana aja dan gampang banget dapetinnya. Kenapa juga harus si Mas Slamet ini. Heran deh gue." Inas mencoba menebak jalan pikirinku yang kusut.

Aku mengangkat bahu tak yakin. "Siapa tahu jodoh gue datangnya dari kalian. Terus gini ya, nama dia itu Slamet. Dari namanya gue tarik kesimpulan kalau dia itu bakal selamat di dunia dan akhirat." Ucapku mencoba berspekulasi.

"Ih, ngaco!" Inas tidak terima dengan ilmu cocoklogiku.

Alya mengusap pundakku. "Masuk akal sih. Lo bener juga kadang-kadang, thanks." Lalu dia menatap Inas lagi. "Jadi, lo mau, kan?"

Inas menggeleng berkali-kali, tampangnya benar-benar yakin dengan keputusannya. "Tetap enggak sih. Belum mau ketemu sama siapa-siapa dulu, takut mendadak diajakin nikah kayak lo, Al. Gue masih ada tanggungan dan baru tenang setelah adik gue lulus kuliah."

"Kenapa sih lo takut banget nikah?" tanya Alya serius.

"Bukan takut, Alya ... ini karena gue harus bayar kuliah adik gue yang masih semester lima! Masih dua tahunan lagi, baru gue bisa bernapas dengan tenang." Beber Inas masuk akal, selama ini beban di pundaknya tidak ringan. Apakah dia merasa tersiksa saat aku dan Alya menceritakan hasil buronan kami dari satu mal ke mal lainnya? Tidak tahu, dia tidak pernah cerita, atau mungkin pandai menyembunyikan rasa sakitnya? Tapi setahuku Inas orang yang baik dan tulus, dia akan terus terang seperti ini jika tidak mau dan tidak suka.

"Ya bikin perjanjian dong sama calon laki lo. Kalau lo dan dia harus sama-sama bayarin kuliah adik lo. Gampang, kan?" Alya masih keukeuh dengan pandangannya.

"Nggak semudah itu, Nona. Nggak semua cowok mau ngerti soal finansial keluarga pasangannya," balas Inas. Mereka masih ribut soal keluarga dan finansial, sementara aku memanggil si mbak kantin dan memesan menu hari ini.

Debat tertunda setelah pesanan kami sampai di meja. Kantin kantor kami tidak menjual satu jenis makanan, banyak penjual berarti banyak menu yang tersedia, tapi kali ini kami lagi ingin makan soto bening dengan penutup mendoan. Kalau Inas lagi banyak duit, biasanya kami makan di luar sambil cuci mata.

Aku meletakkan gelas es tehku di dekat mangkuk, sotoku sudah ludes saking laparnya. "Umur berapa sih sepupu lo itu?" tanyaku pada Alya.

"Di atas gue dua tahun."

"Oh, cocok sama gue!" sambarku.

Inas menatapku heran. "Lo aneh, kemarin sama mas-mas di mal mau, sama Slamet mau, lo jual murah atau gimana?" omelnya seperti ibu-ibu.

"Turun standarnya ya? Jangan-jangan mas di pinggir jalan juga mau lagi, mas parkir maksud gue!" komentar Alya jahat.

Aku memelotot pada kedua sahabatku, tega-teganya mereka. "Maksud gue cocok umurnya, beda dua tahun kan pas. Kayak abang-adik. Lo berdua pada negative thinking deh sama gue." Balasku kesal.

"Sori," cicit Inas. "Habisnya lo itu merepresentasikan apa yang semua cowok mau, Joy. Lo nggak perlu nurunin standar biar cepetan dapet pacar, itu maksud gue."

Alya mengangguk. "Fisik lo bagus. Kalau personality sih lo jauh banget dari kata bagus, masih perlu dibenahi, Non."

"Makasih masukannya, nyelekit." Aku mengelus dadaku dengan sabar.

"Ada yang bilang sama gue, kalau kita berusaha merubah diri kita jadi lebih baik, kemungkinan besar kita ketemu sama orang baik-baik juga. Kalau masih begini-begini aja, mau nggak mau kita ketemu sama yang satu level atau malah dibawah kita." Papar Alya dengan bijak. Dia jadi tambah dewasa setelah menikah dengan orang sedewasa Mas Arda. Duh, beruntungnya!

Inas menyengir ke arahku setelah menatap ke sisi lain. "Kalau lo masih mulut jahat gini, yang datang pasti Rio lagi, Rio lagi."

"Mana?" aku membuka mataku lebar-lebar. Harus kabur sebelum dia menghampiri meja ini. Gawat! Padahal sudah beberapa hari ini aku bisa bernapas dengan lega, karena dia sibuk kejar laporan. Setelah mencari-cari ke semua sudut, akhirnya aku tahu di mana cowok itu sekarang, sedang berjalan menuju kemari. Sungguh aneh kalau aku kabur sekarang, saat langkahnya sudah sedekat ini.

Inas dan Alya menahan tawa sampai wajah mereka memerah ketika Rio sampai di tempat kami.

"Sudah pada selesai ya? Gue baru mau gabung padahal." Rio tersenyum seperti biasa, kalau tidak kenal dengan dia sebelumnya, pasti terpikat dan masuk ke perangkapnya.

"Iya. Mau bayar dan cabut nih!" Alya yang memahami kedongkolanku buru-buru bangkit, dia menolongku. "Sori ya, Rio."

"Yah," Rio membalas dengan tampang kusut, menatapku. "Lo nggak mau nemenin gue? Sebentar aja," katanya memelas.

"Nggak deh. Gue ada urusan." Kulambaikan tangan padanya sebelum beranjak menjauh. "Untung gue bisa lolos," kataku saat Alya dan Inas sudah bergabung di sampingku. Mereka berdua cekikikan dan terlihat senang dengan penderitaanku tadi. "Coba salah satu dari kalian ada di posisi gue, bakal stres juga sih diuber-uber sama Rio."

Inas menggoyangkan jari telunjuknya. "Kalau gue, gue ajak dia datang ke kajian tiap malam Kamis dan Minggu di Masjid Nurul Iman! Biar tobat sekalian, kalau nggak datang berarti dia menyerah dan nggak bakal deket-deket lagi."

"Lo coba aja caranya Inas," Alya menyenggol lenganku.

Aku menatap mereka berdua dengan tampang semakin stres. "Kalian pada tahu kan kalau gue juga nggak ngaji di sana? Dia punya alasan buat ngeles dan gue yang malu."

"Ya, lo datang dong!" ucap Inas dan Alya bersamaan, menyerangku habis-habisan. Setelah itu Alya mencolek lenganku, hendak bicara lagi. "Jangan cuma sibuk nyari cowok genteng di mal, sibuk sama urusan akhirat mulai dari sekarang!" ucapnya penuh kebenaran, tapi membuatku seolah baru saja ditampar.

Ketika lift terbuka, aku langsung masuk dan menekan tombol tutup dengan kesal. Membiarkan dua sahabatku tertinggal di bawah. Aku sedang ingin sendiri dan tidak mau diganggu oleh siapa pun.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now