25

1.6K 190 7
                                    

Rio memaksa membawakan tasku saat aku sedang melepas jaket putih, suhu kantor bisa semakin dingin kalau sudah di atas pukul 4 sore, semua ruangan bisa berembun, termasuk ruangan divisiku. Aku melepas jaket dan menyimpannya di loker khusus, sengaja ditinggal di sini.

"Come home with me?" tawarnya dengan cengiran tengil yang sudah jadi ciri khasnya.

Aku pura-pura meninjunya, "lo bawa motor?"

"Not always. Kalau lagi macet dan kesiangan doang," curhatnya.

"Gue bawa mobil." Aku menarik tas dari tangan Rio, "thanks! Padahal ada meja, ngapain susah-susah dibawain?"

"Tas lo lucu, beli di mana?" tanyanya aneh.

Kutatap wajahnya baik-baik. "Mau beliin cewek lo yang ke berapa? Oh, bukan urusan gue juga sih. Yang pasti bukan beli disembarang lapak, lo bisa cari di mal-mal premium Jakarta."

"Dengan budget?"

"Nggak langsung bikin lo miskin sih!" balasku ketus.

Rio tertawa lepas, lalu mengajakku menuju lift. Karena kami sama-sama analis, kantor kami pun sebelahan dengan sekat tinggi di pembatas antara analis bisnis dan analis sistem. Dia harus melewati banyak meja bersekat pendek sebelum ke mejaku.

Rio berdiri di depan pintu lift, menekan tombol turun. Di jam setengah sembilan, hanya ada aku dan dia yang mengantre di lift. Semoga saja liftnya kosong, anak-anak dari kantor lain sudah pulang.

Dia menjejalkan tangan ke saku celana, menoleh padaku. "Besok lo ikut meeting kan buat penunjukan project baru?"

Ah ya, Rio belum tahu kalau aku sudah diwajibkan datang oleh Mas Damar. Tapi aku tidak mau memberitahunya. "Kenapa harus ikut, yang lain juga banyak yang masih kuat handle."

Kuat, karena project di ITA sungguh luber. Kerjanya padat, pressure-nya tinggi. Bagi anak-anak muda awal dua puluhan dan benar-benar fresh graduate, mereka akan merasa disiksa di neraka, yang bermental ecek-ecek hanya tahan kurang dari enam bulan. Ada juga yang belum tiga bulan sudah mengundurkan diri karena tak sanggup dengan tekanannya dan merasa depresi. Separah itu? Mungkin, apalagi jika dia bertemu dengan atasan super resek yang sangat perfeksionis seperti Mas Amran. Awal-awal di bawah bimbingan Mas Amran, aku hampir menyerah, tidak paham cara kerjanya dan tidak mau mengerti, setelah tiga tahun berlalu aku malah suka bekerja di bawah ketiaknya. Tapi ... Mas Amran malah melemparku pada PM lain, sungguh tega.

"Lo ikut dong, lo sudah pengalaman megang kantor asuransi, kan?" ucap Rio lagi.

"Dua tahun lalu."

"Iya, gue butuh lo. Siapa tahu kita bisa bareng lagi kayak project sebelumnya. Gue yakin lo yang ditunjuk jadi SA-nya kalau lo muncul di ruang meeting." Ucapnya sungguh-sungguh.

Aku mendelik sesaat. "Ngarep! Gue pusing lihat muka lo terus, nggak ada yang lain apa? Kenapa harus dipasangin sama lo lagi dan lo lagi..." keluhku.

"Gue cakep ini, nggak malu dong jalan sama gue, Joy." Rio mengedipkan sebelah matanya.

"Kelakuan lo yang nggak cakep. Eh, tuh, rokok lo kelihatan di saku celana. Ngerokok di pantri mana kali ini?" sindirku.

Sebungkus Marlboro Rio keluarkan dari sakunya. "Sembarangan, gue ke kantin kok rokoknya. Memang masalah ya kalau cowok ngerokok? Lo nggak suka?"

"Hahaha," tawaku reda saat mendengar langkah sepatu pantofel dari arah belakang. Aku menoleh cepat, dengan begitu aku bisa melihat wajah Demas yang sedang menatapku aneh.

"Joy, gue tanya tadi..." Rio menyentuh punggung tanganku dengan telunjuknya.

Ting!

Pintu lift terbuka, tak ada orang, kami bertiga masuk ke dalam. Demas yang berdiri paling depan menekan tombol lift.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now