16

1.4K 209 28
                                    

"Itu baju yang kamu beli di GI kemarin ya?" Mama menatap potongan dress selutut yang kukenakan sore ini. Warnanya pastel dengan model bahu terbuka atau cold shoulder, simpel dan Zoya banget.

"Iya, Ma."

"Bagus, Joy. Cantik."

"Aku kan selalu cantik." Aku berjalan ke arah Mama.

"Tapi nggak semua orang suka cewek cantik, kayak Demas itu." Singgung Mama, masih tak suka dengan lelaki yang sedang ditaksir anaknya. Kalau Mama ketemu Demas, aku jamin Mama langsung setuju sih.

"Ih, Mama! Mama belum tahu ya kalau kami sudah jalan berdua?" pamerku sambil tersenyum senang.

"Sering?"

"Lumayan." Balasku disertai anggukan. Belakangan ini kami memang sering jalan berdua, entah sekadar makan bersama after office hour atau keluar bareng di hari Sabtu.

Mama memandangku dengan mata menyipit, dahinya sampai berkerut. "Ini mau ke tempat dia?"

"Iya." Dengan bangga aku berucap jujur.

"Kok kamu terus yang ke sana?" Mama terdengar heran.

Seketika wajahku berubah cemberut. "Namanya juga usaha, Ma. Zoya harus sabar sedikiiit lagi." Mama belum tahu rencana besarku hari ini, rencana yang mungkin akan merubah hidup dan masa depanku. "Aku pergi ya ... dah, Mama."

"Tunggu!" cegah Mama, menatapku secara saksama. "Dandanan kamu kayak mau kondangan ini mah." Kurasa penampilanku memang sesempurna itu, aku sudah pandai merias diri sejak masa puber dan jangan heran kalau peralatan kosmetikku seabreg. Bahkan Mama bilang aku pantas jadi beauty vlogger karena aku juga concern dengan perawatan kulit dan tubuh.

Aku menyengir sebelum menjawab ucapan Mama. "Serasi dong sama bajunya?" meski dress ini terlihat simpel, tapi juga elegan.

"Sekali-kali natural dong, Joy. Kamu mah tetap cantik meski nggak diapa-apain juga. Ganti warna rambut sana, balik ke hitam lagi, Mama nggak suka deh rambut kamu." Komentar Mama persis seperti saat pertama kali melihat aku keluar dari salon, berbulan-bulan yang lalu.

"Ah, Mama bawel. Aku pergi dulu, muah!" aku menempelkan bibir ke pipi Mama.

"Kamu nggak mau ikut Mama-Papa kondangan ke anak teman Papa?" ucap Mama setelah aku berjalan dua meteran.

Aku menoleh sebentar. "Enggak, malas. Aku maunya, aku dan Demas dikondangin sama orang-orang."

"Dasar!" Mama geleng-geleng melihat kelakuanku. "Kamu itu cewek, jaga sikap, jangan terus-terusan pecicilan begini dong." Gerutuan Mama masih terdengar sampai kakiku menginjak ruang tamu.

Aku tak peduli apa kata Mama, aku memang sudah begini sejak masih dalam kandungan. Bukankah Mama sendiri yang bilang kalau aku rajin menendang perut Mama sejak memasuki bulan ke enam?



---



Demas baru keluar dari kamarnya, wajahnya terlihat sejuk, damai dan benar-benar menarik untuk dilihat. Apa ini wajah calon kepala keluarga yang sholeh?

By the way, Demas baru saja selesai shalat isya di jam delapan malam. Sementara aku akan isya di rumah karena di sini tak ada mukena.

Kami tidak kemana-mana, hanya mengobrol seperti biasa dan menemani Demas merawat adik-adiknya. Saat dia bermain game sebentaran, aku melakukan ritual kecil di instagram dengan membuat story pendek, memposting foto-foto anggrek yang sangat terawat dan segar.

Demas duduk menyebelahiku dan membuka kotak pizza yang sudah kami pesan. Meja di depanku penuh dengan makanan. Selain pizza, Demas juga memesan nasi plus ayam penyet level sedang, dua cup green tea, dan satu cup salad buah.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now