37

1.7K 226 20
                                    

Inas turun dari stool, menyusulku berdiri di dekat jendela demi melihat jalanan di bawah sana, tangan kanannya memegang cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. "Minggu lalu pas kita jalan di mal dan ketemu sama Mas Demas dan Intan, ada cerita seru deh!"

Aku mengalihkan tatapan pada Inas, mengerutkan kening. "Seru apanya, gue kan ada di situ juga, Sis."

"Pas lo balik duluan, Beb. Gue sama Intan ngobrol banyak!" jelasnya saat melihat kebingunganku.

"Apa?" kataku tak sabar.

"Intan, adiknya Mas Demas ... dia masa cerita soal lo." Ucapnya dengan suara kecil, pasalnya ada orang lain di belakang kami dan sedang menunggu mesin kopi bekerja.

Aku menunjuk diriku sendiri. "Soal gue? Gue nggak kenal sama dia, baru kali itu ketemu sama dia. Eh, apa kita pernah ngobrol sama Intan pas Alya nikah?" aku mencoba memutar ulang memori ketika datang ke pernikahan Alya di Semarang pada tahun lalu.

"Enggak sih. Gue juga baru lihat mukanya kemarin itu. Lagian di acara Alya tamunya rame banget, saudaranya juga banyak dan gue nggak hapal mukanya. Mas Demas aja gue nggak ingat, apalagi adiknya?"

Aku mengangguk setuju. Tamu Arda dan Alya saat itu benar-benar membludak. Maklum, mereka kan dari kota berbeda, ditambah lagi tamu dari Jakarta. "Ngomong apa dia?"

Inas menyengir sebelum menjelaskan obrolannya dengan intan. "Katanya dia suka sama lo, cantik dan gitu-gitu pokoknya. Separuh memuji, separuhnya kayak lagi dorong kakaknya buat ngedeketin lo. Aneh nggak sih?"

What?! Aku memelotot mendengar hal itu, untungnya Inas masih menatap ke luar, sehingga dia tidak melihat ekspresi kagetku saat ini.

Bruk. Pintu di belakang kami tertutup otomatis, seseorang baru saja pergi, menyisakan aku dan Inas lagi.

"Gue rasa ya, Mas Demas memang sering merhatiin lo sih." Ujar gadis di sampingku.

"Ngaco!"

"Serius. Gue memang kurang peka soal hal-hal kecil gitu, tapi dia memang sering banget lihat lo kalau lagi satu ruangan." Jelas Inas menggebu-gebu. "Kemarin pas lo masuk divisi gue, dia juga di sana, dia duduk natap lo agak lama, gue pikir dia mau ngomong sama lo, ternyata cuma diem dan merhatiin. Jangan-jangan dia memang ada rasa ya sama lo? Dia sudah ngajak lo jalan kayak Rio ngajak lo keluar?"

"Apaan sih, Sis. Jangan makin ngawur deh!" ucapku tidak suka. Aku duduk di stool dan menarik mug yang sempat kutinggalkan, menghabiskan isinya sekaligus, hanya air putih dingin yang sangat berguna untuk meredakan gejolak dalam dada.

Inas menatapku dari tempatnya berdiri. "Gue pikir lagi nih ya, Joy. Waktu ke nikahan anak direksi, gue sempat tinggalin lo dan dia nyamperin lo, kan? Itu tandanya dia memang lagi ngedeketin lo. Masa lo nggak nyadar sih?"

Aku mengibaskan tangan, tidak peduli. Wajar kami berdua ada di sana dan duduk bareng, karena kami kenal dan tidak ada teman.

"Jawab gue, kalau dia memang beneran naksir lo, lo terima?"

Aku berdecak sebal, omongan Inas mulai melantur. "Malas jalin hubungan sama orang sekantor, takut banyak drama dan konflik." Kilahku terus terang.

"Seru tahu, jadi ada Alya-Arda kedua di ITA. Hihihi." Inas menutup bibirnya saat tertawa.

"Lo aja sana," ucapku seraya turun dari stool.

Inas maju mendekatiku. "Sama siapa? Gue bukan lo yang jelas-jelas lagi dideketin sama Rio ya."

"Lo suka Rio? Ambil tuh, ikhlas lahir batin sumpah."

"Hahaha, nggak lucu."

"Lo yang nggak lucu." Balasku ketus.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now