22

1.5K 189 7
                                    

22



Nyokap Alya sudah pulang ke Semarang, Mas Arda lembur gila-gilaan di kantor. Jadi, malam ini aku bisa menemani nyonya Arda serta baby-nya yang lucu dan menggemaskan.

Melihat Saki membuatku ingin mencubit pipinya, mengapa anak bayi seimut dan selucu ini sih? Perasaan di rumah sakit kemarin Saki nggak ada isinya, masih keciiil sekali, sekarang tubuh Saki sudah mau empat kilo dan pipinya gembul sekali ... duh, jadi pengin cubit!

Alya menepuk-nepuk pantat anaknya yang mulai berisi. "Empat hari laki gue nggak balik sebelum jam dua belas, Joy. Stres gue lihatnya. Gue sih nggak stres pasca lahiran kayak orang-orang ya, tapi malah pusing lihat Mas Arda nggak bisa tidur lebih dari lima jam!" curhatan pun mulai dilanjut.

"Project dia lagi crowded banget, Sis. Sabar aja, nanti juga lowong waktunya." Aku tahu betapa hectic-nya ITA setelah lebaran. Berkas-berkas tumpang tindih di meja project manager, kertas dan catatan lain berhamburan di meja anak buah, bahkan divisi Inas pun sudah mulai begadang di kantor untuk menyelesaikan project lama sebelum project baru datang tanpa jeda.

"Iya sih."

"Yang penting bukan lembur buat buka cabang baru aja," ungkapku santai.

"Astaghfirullah ... omongan lo bener-bener ya. Jangan bercanda deh!" Alya menegurku dan memberikan pelototan super tajam.

"Posesif amat sama laki."

"Laki gue ganteng, gagah, oke gitu. Gimana gue nggak posesif coba?!" ucapnya semakin menjadi.

Kuusap-usap lengannya, merasa bersalah karena sudah memancing sifat cemburu yang ada pada diri Alya. "Kayaknya dia sih nggak main mata, tenang aja. Gue tadi cuma asal aja."

"Lo kompor banget, nyaris bikin gue jantungan." Alya geram.

Aku meminta maaf dengan caraku, yaitu menawarkan jasa baby sitter padanya untuk menjaga Saki ketika dia baru mau mandi sore. Aku memangku tubuh Saki di sofa tengah, sementara Alya mandi kilat di kamar mandi kamarnya.

"Gue makan dulu ya, mumpung dia anteng sama lo." Ucap Alya setelah keluar dari kamar dengan rambut setengah basah.

"Ho-oh." Kutatap Saki yang kembali membuka mata, belum mau tidur, malah mengajakku bercanda dengan senyum-senyum sendiri. "Alo, Saki ... ini Onti Zoya, Saki apa kabar? Ehm, wangi amat! Saki udah mandi? Sama siapa mandinya? Sama Mama Yaya yah mandinya?" aku terus mengoceh meski Saki tidak paham maksudku. "Al, lo kok nggak pakai suster sih?"

"Mas Arda bilang Ibu mau datang, jadi gantian sama nyokap gue. Paling lusa kemari." Sahut Alya dari balik meja makan. "Lo mau makan nggak? Gue ada ayam goreng, sambal, sama lalapan nih."

"Lo nyusuin dodol. Masa makan sambal sih?"

"Dikiiit. Makan gorengan kalau nggak ada sambal nggak afdol tahu!" belanya enteng.

Aku menyengir. "Jadi ingat kata-kata Inas Ramadan kemarin. Puasa kalau nggak shalat nggak afdol katanya."

"Lo shalat?" Alya menodongku.

"Gue muslimah sejati, masa nggak shalat. Gila aja lo!" semburku.

"Heran aja, biasanya bolong kayak jaring laba-laba." Alya tertawa setelah mengejek kebiasaan lamaku.

"Udah enggak dong. Berkat cemarah Inas yang terus mampir di telinga nih." Ujarku bangga.

Alya kembali ke sofa, duduk menyebelahiku dan memangku anaknya yang mau dia nina bobokan. "Lo cerah banget ganti warna rambut," celetuknya.

"Makasih, lo sudah muji gue dua kali. Secantik itu ya gue di mata lo?" tanyaku pede.

Alya menyengir lebar. "Lo mah nggak diapa-apain juga cakep, Joy. Saking nasib aja belum ketemu cowok yang bener dan bisa diajak serius." Dia membuka kancing bajunya, mulai menyusui Saki yang sepertinya sudah kelaparan. "Asi memberikan nutrisi yang penting bagi masa pertumbuhan bayi dan sistem kekebalan tubuhnya. Gue mau fokus meng-ASI-hi selama dua tahun ini. Islam juga ngajarinnya gitu, kita baru boleh menyapih kalau anak sudah 2 tahun, Joy."

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now