06

1.8K 211 2
                                    

"Slamet gimana?" Alya menodongku begitu pantatku menempel pada kursi.

Kuputar kursi ke arahnya setelah meletakkan tas di meja. "Gue yakin dia normal. Tapi anehnya dia nggak ada respons."

"Lo kali yang terlalu agresif. Slamet risih tahu sama cewek terlalu agresif dan genit kayak lo." Jelasnya, sama sekali tidak berpihak padaku.

Aku mengibaskan tangan dengan kesal. "Terserah, kalau sudah tertarik sejak awal pasti ada respons kok. Ini sih kayak dia nggak mau lihat gue, memang nggak suka." Tentu saja aku tahu mana cowok yang ada niat sejak awal dan mana yang tidak niat, atau dia sudah ilfeel padaku?

"Terus, mau nyerah?"

Aku benar-benar naksir orang ini, mana mungkin menyerah begitu saja. "Nggak dong!"

Alya tersenyum dan tangannya menepuk lenganku lembut. "Ini baru lo banget, Joy." Ucapnya, menyemangatiku. "Tapi tipe dia setahu gue memang bukan cewek modelan lo, Joy. Lo kurang alim dan kurang santai," tekannya, bermaksud memberi tahu. "Bagus sih lo nggak nyerah, gue juga capek lihat dia jomblo dari dulu."

Bola mataku membulat, baru saja ingin bertanya apakah Demas punya kekasih atau tidak, tapi sepupunya sudah membongkar rahasianya. Sebagus Demas masih single? Sikat! Pokoknya harus kukejar sampai dapat hatinya. "Gue sudah tiga tahun kerja di ITA. Emang gue pernah nyerah meski ada kerjaan seabreg? Lebih gede dari Gunung Slamet? Nggak, kan. Gue mau susun rencana, mau bikin UAT khusus buat dia, namanya SAT." Paparku penuh teori.

Alya mengernyitkan kening. "Sekalian aja lo program otaknya si Slamet biar mikirin lo terus."

"Tenang. Gue bakal hold dia."

Alya menatapku penuh antisipasi dan menepuk meja di depannya. "Gila lo. Slamet gue mau diapain?" tanyanya cemas.

"Bukan punya lo lagi, lo sudah ada Mas Ayang!" balasku cepat. "By the way, nama dia bagus gitu, Demas. Kok bisa lo panggil Slamet? Nama bokapnya ya?"

"Nama belakang dia Slamet, Joy." Jelas Alya, dia masih menatapku tajam. "Gue bilangin sama dia, kalau lo mau bikin Slamet accaptance training."

"Terserah!" aku mengibaskan tangan, tak peduli. Alya tidak mungkin membocorkan niatanku ini pada sepupunya, kan?

Alya diam, aku memutar kursiku ke meja, membuka laptop dan menunggu loading.

Kejadian Sabtu kemarin membuatku tak mau menyerah begitu saja, aku harus maju selangkah demi selangkah untuk mendapat perhatian cowok itu. Selain cool, ternyata dia manis sekali dan gagah!

Ya ampun, kenapa baru sekarang aku jumpai laki-laki seperti dia?

Saat Adam membenarkan laptopku di temani anak-anak kuliahan yang baru datang, aku dan Slamet duduk di teras dan mengobrol. Lebih tepatnya aku sih yang banyak bertanya dan terlalu cerewet, lupa jaga image karena Demasnya terlalu anteng. Semakin dia anteng, semakin membuat kegilaanku bertambah.

"Lo ngontrak di sini sama Adam?" tanyaku saat itu.

"Iya. Lantai belakang itu gue sih yang pegang. Dapur soalnya, Adam nggak banyak makai." Dia baru ngomong kalau ditanya, dan nggak balik tanya apa-apa sama aku. Cueknya minta ampun. Tapi aku yakin dia itu normal seratus persen kok. Kelihatan dari aura mas-masnya, dan kayaknya penyayang. Masa orang keren, gagah, cakep begitu suka sama yang gagah juga? Nggak lucu kan dunia? Lagian Alya sendiri yang bilang kalau Demas itu rajin shalatnya. Masa rajin berdoa tapi melenceng?

"Di atas ada berapa kamar?" tanyaku lagi.

Dia menatapku sesaat sebelum menjawab pendek saja. "Satu."

Apa dia tidak nyaman ditanya begitu? Bingung milih topik, aku terus sih yang tanya.

ENCHANTED | EndOn viuen les histories. Descobreix ara