04

2.2K 238 8
                                    

Sejak pagi aku sibuk sekali, sehingga tak begitu memerhatikan kondisi sekitar, juga tak tahu kalau Rio sempat menyambangi meja kerjaku dan meletakkan satu cup kopi espresso di sana. Semoga nggak ada jampi-jampinya, aku meminum kopi itu karena memang butuh. Rio perhatian sih, baik, tapi ... ya itu, dia penjahat wanita.

Aku kembali fokus melanjutkan report harian setelah mendatangi tim development dan menjelaskan project secara teknis, menentukan tugas setiap orang, juga durasi waktu yang dijadwalkan. Report ini akan aku serahkan pada project manager, atasanku langsung, orang yang menugaskan ini dan mengawasi kami.

Tak!

Sebuah benda terjatuh, aku menoleh ke belakang. "Kenapa, Al?"

Alya tidak menjawab dan mengambil bolpoinnya yang ada di kolong meja.

Aku mengawasi wajahnya yang semakin pucat sejak tadi siang, "lo nggak balik aja? Gue takut lo kenapa-napa, Al." Jujur, aku ngeri saat melihat orang sakit begini.

Alya menggeleng tanpa menjawabku, kembali duduk di kursinya.

Sudah sejak siang aku menyuruhnya pulang atau kuantar ke klinik terdekat, dia menolak dengan alasan banyak yang harus dia kebut hari ini. Aku menarik napas dalam-dalam, padahal hatiku was-was. Bagaimana kalau dia pingsan di sini? Sementara suaminya sedang pergi ke luar kota, bukan?

Aku kembali mengetikkan laporan dengan cepat, namun konsentrasiku terganggu oleh Alya yang tiba-tiba berjongkok di sebelah kursinya. Kenapa dia? Aku hendak bertanya, namun dia keburu jatuh di lantai dan benar-benar membuatku syok. "Alyaaa!" jeritku panik. Aduh, Alya yang pingsan, aku yang jantungan. "Tolong ... Alya pingsan!" teriakku pada siapa pun di ruangan ini.

Seketika orang-orang datang dan melihat kondisi Alya, aku memangku kepalanya dan badannya terlihat lemah tak berdaya. Seseorang membawanya ke mobil dan aku mengikutinya, aku harus berada di sampingnya meski pekerjaanku harus tertunda, Alya lebih penting.

Pukul empat lebih kami berada di rumah sakit, kata dokter Alya kelelahan dan kurang istirahat, dia harus diberi infus dan dibiarkan istirahat beberapa saat sampai infusnya habis. Aku menungguinya sambil menelepon Inas, memberi kabar padanya.

"Gue di mana?" Alya sadar setelah aku mengantongi ponsel ke rok midiku.

"Rumah sakit. Lo pingsan tadi. Lo kecapekan, Sis. Lo butuh rehat katanya. Tuh kan, gue bilang juga apa? Lo harus balik dari tadi siang sih, malah harusnya nggak masuk. Kerja mati-matian, kalau sakit gini lo sendiri yang repot." Cerocosku tanpa henti, perasaanku agak lega saat wajah pucat Alya berangsur-angsur normal, dia menyunggingkan senyum minimalisnya.

"Dasar berisik! Bukan Inas aja yang nemenin sih," protesnya.

"Gue khawatir tahu." Aku mengusap punggung tangannya.

"Iya, thanks."

"Gue bawain tas lo tadi, soalnya pasti lo nggak balik kantor lagi, kan? Gila aja kalau masih mau kerja." Aku merogoh tas Alya di depannya, sengaja biar dia tahu bahwa aku hanya ingin mengambil ponselnya. "Nih, buka pin dan telepon Mas Arda!" titahku tak mau dibantah.

Alya menurut, tapi dia menyerahkan ponselnya padaku dan tak ingin bicara dengan suaminya sendiri. Dasar istri aneh, kenapa sih sama suami sendiri aja nggak mau jujur kalau lagi sakit? Mau tak mau aku pun jadi perantara perkabaran ini, tentu saja Mas Arda cemas saat tahu istri tercintanya pingsan di kantor. Aku menyebutkan nama rumah sakit ini dan Mas Arda mengucapkan "terima kasih", sambungan pun terputus.

"Sudah." Aku memasukkan ponsel Alya ke tasnya lagi, lalu meletakkan tas ke meja.

"Lo nggak balik ke kantor?" tanyanya seraya melihat jam tanganku. "Setengah lima lho."

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now