52

1.4K 214 25
                                    

Halooo, semua ... apa kabar nih?

Semoga baik, sehat, rezeki lancar, dan bahagia ya.

Jangan lupa vote, sudah lama enggak update soalnya!



_______



Setelah kemarin libur ketemuan, hari ini aku sengaja datang ke rumah Demas. Sehari enggak ketemu rasanya rindu ... dan benar kata Dilan, rindu memang berat. Saking beratnya, aku harus membawanya ke tempat Demas berada, agar gejolak rindu itu segera reda.

Entah mengapa, aku merasa kerasan dan nyaman di sini, di tempat Demas. Orangnya sih yang paling membuatku merasa nyaman.

"Kalau aku libur dan kamu juga lagi nggak sibuk, aku pengin quality time bersama. Nggak harus pergi kesana-kemari, yang aku butuhkan adalah kualitas, Sayang!" ungkapnya waktu itu. Jadi, aku memang punya alasan untuk selalu menyambangi tempat ini.

Aku menumpangkan kakiku di pangkuan Demas, membuatnya tidak konsen bermain game. Sementara itu, aku lanjut membaca novel, sudah di halaman 231 dan sedang dalam masa perdamaian. Sepertinya si tokoh akan happy ending dengan pasangannya. Ya, kalau tidak ada orang ketiga dan keempat dalam kisah mereka di masa depan.

Demas meletakkan stick game-nya di meja, namun televisi masih menyala. "Makan yuk," ajaknya.

"Kemana?" tanyaku setelah sekilas menatap aktivitasnya, dia sedang memijit kakiku.

"Di sini. Kamu yang masak," ledeknya.

"Aku? Malas ah, pesan aja, Sayang."

"Pesan apa?"

"Terserah."

Demas menarik bukuku, menatapku dengan tampang cemberut.

"Oke. Pesan apa aja, aku ikut kamu," ucapku akhirnya, sambil berusaha meraih bukuku kembali.

"Sama aja kayak terserah."

Fiuh! Barusan aku meniup rambut yang jatuh ke depan. "Aku bebas deh. Kamu jangan ribet dong, tinggal pilih menu, pesan, selesai. Siniin bukunya, aku belum selesai baca!"

Demas mengalah dan menyerahkan novel bersampul ungu ke tanganku.

"Lagi seru tahu. Kamu sudah nge-game nya?"

"Ho-oh," katanya sambil mengutak-atik ponsel. "Iga bakar aja ya?"

"Boleh, nasi kamu dua porsi!" selorohku, lalu cekikikan sendiri.

"Kok tahu?"

"Perut kamu kayak karet, pasti sebentar lagi lebar kayak bapak-bapak beranak dua!" ledekku sambil menjulurkan lidah.

"Aku olahraga," balasnya datar.

"Bohong. Kapan?"

"Tadi pagi. Sebelum kamu datang lah."

"Masa?" Aku menoleh ke teras depan, ada barbel di sana, juga sepatu running berwarna putih dengan kaos kaki teronggok di lantai. "Ih, jorok. Diberesin dong, taruh di tempatnya masing-masing biar nggak berantakan. Biasanya rapi deh kamu," sindirku terang-terangan.

"Bantu beresin dong."

"Aku malas, makanya aku nggak pernah berantakin apa-apa."

Demas mengalihkan tatapannya dari ponsel, fokus padaku. "Aku nggak suka cewek malas."

"Oke!" Aku buru-buru bangkit, meletakkan kaki di lantai, menutup novel dan meletakkannya di sofa. Aku berjalan ke teras dan merapikan sepatu serta kaos kaki milik Demas. "Duh, gini ya kalau jadi istri, beberes terus." Gerutuku agak keras, biar terdengar oleh kuping Demas sekalian.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now