07

1.8K 184 3
                                    

Demas.

Batinku menyebut namanya, nama yang menghiasi hari-hariku, nama yang menghadirkan gelenyar aneh di dadaku.

Sekali lagi aku menatap diriku lewat cermin, penampilanku sudah sempurna. Kupakai dress selutut dengan lengan pendek, warna navy dan rambut cokelatku kubiarkan tergerai seperti biasa. Aku juga memakai softlens cokelat agar tampak natural, lipstick dan riasan di wajahku juga tak begitu mencolok. Setelah menyampirkan sling bag di bahuku, aku segera keluar kamar dan menuju ke mobil.

"Mau kemana, Joy?" tanya Mama yang sedang menyirami bunga kesayangannya. Mama hanya ibu rumah tangga yang sibuk dengan sugudang tugasnya di rumah dan di luar rumah--jalan dengan teman-temannya.

Aku mendekati Mama. "Mau keluar aja, sebentar." Balasku tak mau jujur. Aku memang dekat dengan Mama, tapi untuk sekadang aku belum bisa bercerita, takut Mama mengira kalau anaknya sudah punya pacar baru.

"Muah!" kucium pipi mamaku yang tidak begitu banyak kerutan. Maklum, Papa selalu menyisihkan dana untuk perawatan mingguan istrinya.

Mama menatapku curiga. Ibu-ibu memang sulit dibohongi, tahu kalau ada "sesuatu" di balik penampilan dan gerak-gerik seseorang. "Rapi banget, Joy."

"Biasanya juga gini, aku kan feminin, Ma. Dan cantik kayak Mama!" ucapku sambil mengibaskan rambut, membuat Mama tertawa.

"Ya sudah sana. Hati-hati."

Aku melambaikan tangan pada Mama. Meninggalkan ibuku yang cantik dan anggun seperti puteri keraton dengan adik-adikku; mulai dari Suplir, Tanduk Rusa, Kuping Gajah, Keladi Red Star, Monstera, sampai Snow White.

Jika Papa senang memelihara ikan Koi di kolam samping rumah, Mama justru seperti wanita kebanyakan, suka sekali dengan tanama hias. Mama orang tercantik yang pernah kulihat meski di rumah hanya mengenakan daster batik saja, tapi begitu keluar rumah Mama terlihat benar-benar anggun dan berwibawa seperti istri seorang pejabat, padahal ayahku hanya pengusaha percetakan. Kurasa aku mewarisi kebanyakan sifat ibuku, juga kefemininan ini turun darinya.

Sebelum mobilku melaju ke jalan kompleks, ponselku berdering meraung-raung. Aku mengambilnya dari sling bag yang diletakkan di kursi samping. Nama Rio muncul di sana. Aku mendesah sebelum mematikan ponsel dan membiarkan Rio sakit hati.

Siapa pun, tolong aku, hentikan ulah Rio yang terus merongrongku dan merusak hari liburku. Aku selalu tidak mood kalau harus berhadapan dengannya di luar urusan kerja.



---



"Ada di atas," ucap Adam setelah kutanya kemana temannya.

Apakah dia bujang baik? Kenapa weekend seperti ini tetap di rumah dan hanya pergi untuk jogging di sekitar sini? Aku semakin kesengsem padanya.

"Naik aja, Mbak." Adam kembali berujar, membuatku kaget sendiri. Dia menatapku heran karena terus berdiri di depan meja kerjanya, padahal antrean di belakang begitu panjang. Sabtu ini tempat Adam terlihat ramai, mobilku kembali parkir di luar karena penuh oleh motor anak-anak yang sepertinya masih kuliah. "Dia juga lagi nunggu, makanya pintunya di buka," jelas Adam seraya menunjuk ke arah tirai yang tertiup kipas angin.

"Oh." Aku mengangguk meski merasa bingung. Dari mana Demas tahu kalau aku mau ke sini? Apakah Alya membocorkan rahasiaku?

Aku melangkah ke dalam, menyibak tirai putih dan menatap tangga. Pintu di ujung sana memang terbuka lebar. Dengan rasa kikuk aku menaiki tangga, berharap Demas sudah bisa tersenyum di depanku dan menyambutku dengan hangat.

"Eh!" aku spontan menutup mata ketika berdiri di tangga teratas. "Sori, Adam yang suruh gue ke sini." Jelasku dengan tampang malu. Aku tak sengaja melihat Demas keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk dari pinggang ke bawah.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now