20

1.5K 196 14
                                    

Mungkin aku dan Inas adalah orang terakhir yang menjenguk Alya di ruangan ini. Kamar ini sudah dipenuhi oleh mamanya Alya, ibunya Mas Arda, Mas Galuh (kakak Alya), Rena (calon kakak ipar Alya), Mas Arda, dan terakhir kulihat sesosok manusia muncul dari balik punggung Mas Arda, siapa lagi kalau bukan Demas.

Aku menarik napas dalam-dalam, tetap kalem dan tidak begajulan.

"Onti-onti baru datang, nih ponakan sudah nunggu lho..." Alya menyambutku dan Inas. Kami berjalan masuk dan mengucapkan selamat atas kelahiran anak pertamanya yang luar biasa imut, lucu dan ganteng kayak bapaknya.

"MasyaAllah, cakep banget dedeknya." Sambut Inas dengan wajah berseri. Dia mengusap tangan lembut si bayi dalam pelukan ibunya.

"Namanya siapa?" bisikku.

"Praka Alsaki, Onti." Balas Alya dengan senyuman merekah.

"Saki?" Inas menebak nama panggilan buat keponakan kami.

"Iya, Saki aja." Sahut Mas Arda yang masih berdiri di belakang kami.

Setelah itu aku dan Inas berbasa-basi pada keluarga Alya, kami sudah pernah bertemu di pernikahan Alya waktu itu. Wajah kami sudah tidak asing lagi buat mereka, terutama Mas Galuh dan Rena, sebab selama ini mereka tinggal di Jakarta juga dan aku sering menemani Alya bertemu dengan kakaknya.

Kulihat sikap Demas pada Alya tetap sama, tetap hangat dan baik. Mungkin karena dia memang menganggap Alya sebagai saudara, sebagai adiknya sendiri. Saat Mas Arda izin mengantar para ibu ke kantin, Demas dengan cekatan mengambilkan minum dan ini-itu lainnya yang dibutuhkan Alya. Demas bahkan sudah bisa mengemban keponakannya yang baru lahir, sedikit kaku tapi tidak terlihat grogi.

Bukankah harusnya aku cemburu? Entahlah, aku juga tidak bisa menjelaskan perasaanku, aku malah senang melihat kehangatan yang tercipta di depanku. Senang melihat Demas tersenyum saat menggendong bayi mungil itu.

Ketika mendengar kumandnag adzan, kami bergantian menjaga Alya. Ruangan ini sempat sepi, hanya ada aku, Alya, baby Saki dan Inas. Aku duduk di kursi dekat nakas, sementara Inas masih setia berdiri di dekat baby Saki, mengusap-usap tangan Saki yang benar-benar mungil dan ringkih.

Alya yang dalam posisi duduk sambil mengemban bayinya terus mengawasi wajahku, seolah ada yang ingin dia tanyakan. Aku balik menatapnya, menganggat dagu sebagai kode. "Ehm, lo sama Slamet udahan?" lirihnya.

"Udahan gimana, orang nggak jadian." Sahutku sok cuek.

"Maksudnya lo nyerah?"

"Kerjaan gue banyak, agenda gue penuh, meeting aja sehari bisa tiga kali sudah kayak minum obat sakit magh."

"Lo ngaco, gue tanya sepupu gue, bukan jadwal rutin lo." Suara Alya meninggi, mungkin dia kesal dengan sahutanku. "Serius. Lo sama dia nggak jalan lagi?"

Aku mengerlingkan mata. "Gue sibuk! So, nggak ada waktu buat ngurusin cowok yang nggak penting!" mereka nggak boleh tahu kalau dua bulan lalu aku baru saja menjatuhkan harga diriku di depan laki-laki yang orangnya masih berkeliaran di sekitar sini. Aku dan Demas bahkan tidak saling menegur, dia cuek, aku juga begitu.

"Nggak penting? Lo nggak naksir dia lagi?" Inas ikut menginterogasiku.

Aku mendesah keras. "Yang namanya naksir itu sebentar timeline-nya. Udah, nggak usah bahas gue dan dia. Kita pijet aja kakinya Alya." Selorohku, lalu tanganku terulur untuk memijat kaki mulus sahabatku. Inas ikut memijat kaki Alya yang sebelah, kami lagi baik hati dan kompak.

"Duh, kalian baik banget sih. Jadi makin sayang!" puji Alya cekikikan.

"Iya dong, namanya juga dikasih ponakan baru. Lucu lagi." Ocehku.

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now