35

1.7K 230 41
                                    

Sudah dua malam aku tidak bisa tidur dengan tenang. Rasanya saat mulai memejamkan mata, pikiranku terus melayang-layang ke tempat lain. Pikiranku mengajakku jalan-jalan ke bagunan dua lantai yang balkonnya dipenuhi oleh tanaman hias yang begitu terawat dan sehat. Mana lagi kalau bukan tempat tinggal Demas?!

Aku jadi kesal sendiri. Bahkan semua sudut di kantor membuatku pusing, wajah Demas ada di mana-mana. Akhirnya siang ini kuajak Inas keluar kantor agar kepalaku mendingan.

Sudah dua hari aku tersiksa begini. Sejak Demas mengatakan hal itu, bahwa dia menyukaiku, rasanya hatiku tidak tenang, setiap detik aku terus memikirkannya. Namun sampai saat ini aku terus menghindarinya. Aku pun tidak makan siang di kantor lagi demi menghindarinya, kemarin aku memilih tempat yang jauh dan pergi seorang diri.

Kaki kami melewati beberapa departement store yang biasanya kusambangi dan jadi tempat favoritku berbelanja.

"Tumben nggak demen lihat barang baru dan bagus lagi!" ledek Inas yang sejak tadi mengamati kekusutanku. Dia percaya begitu saja saat kubilang, "gue galau karena kliennya masih rewel dan minta tambah fitur baru lagi."

Aku mendesah keras sampai membuat Inas menoleh. "Lagi nggak mood buang duit, cuma mau jalan-jalan doang, olahraga kaki." Sahutku seadanya.

Inas tertawa geli mendengarnya. "Kalau gitu anterin gue ke toko sepatu, pengin lihat sneakers! Siapa tahu ada yang lucu dan bisa gantiin yang di kost-an." Ajaknya sambil menarik lenganku menuju store sepatu di depan kami.

Begitu kaki kami masuk ke toko ini, Inas langsung hilang di antara rak-rak sepatu dan meninggalkanku dalam kehampaan. Aku memutuskan untuk duduk di bangku memanjang, mengamati si mbak kasir yang sibuk menjaga konter.

Lima belas menit kemudian Inas kembali, menarikku untuk segera berdiri.

"Dapat barangnya?" tanyaku sambil melihat tangannya yang ternyata kosong. "Nggak jadi?"

"Nggak." Sahutnya cepat.

Kami keluar store ini, mencari store lain yang menjual sepatu perempuan. Saat mataku sibuk melihat-lihat, Inas menyenggolku. "Sempit banget nggak sih dunia, kantor dan mal sama-sama di Kalibata, jadi harus ketemu sama teman kantor juga."

"Siapa?" tanyaku tak begitu peduli. Tidak heran kalau kami bertemu dengan rekan kerja sendiri di mal, aku juga pernah mendapati Alya dan Mas Arda jalan berdua di sini ketika mereka belum mendeklarasikan hubungan mereka.

"Demas." Jawab Inas seraya menunjuk toko skincare ternama itu. "Eh, sama cewek!" Inas terkejut sendiri dengan pengamatannya.

"Siapa?" bibirku spontan mengeluarkan kata itu, ingin tahu.

Dan benar saja, Demas memang berdua dengan seorang gadis muda yang tampilannya sebelas-dua belas dengan Alya. Sopan, cantik, dan senyumnya seperti kue donat bertabur gula. Sangat manis!

Gila ya dia, kemarin baru ngomong suka sama aku, sekarang sudah gandeng cewek baru. Dasar, semua cowok sama saja, dia juga berengsek. Ternyata selama ini aku dikelabui sama tampangnya yang sok alim, kalem, dan manis itu.

Sial!

Kutarik tangan Inas, "jangan lewat sana!" ucapku, mengajaknya lewat jalan lain agar tidak berpapasan dengan Demas dan kekasih barunya. Dadaku terasa sesak, dongkol sekali.

"Eh, tunggu ... tunggu." Inas tetap berdiri di tempatnya, kakinya seperti dilem pada lantai. "Mas Demas, hai..." ucapnya.

Aku menoleh cepat. Ternyata Demas juga melihat kami berdua dan sudah menghampiri Inas.

Gadis muda yang rambutnya sebahu itu mendekati Demas sambil menenteng paperbag dari toko skincare barusan. "Siapa, Mas?" suaranya terdengar lembut di telinga. Apakah ini tipe Demas yang sebenarnya?

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now